REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bukan pertama kali sebuah seminar tentang Romo Zoetmulder diadakan. Pada 8-9 Juli 2005, di Kampus Universitas Indonesia (UI), Program Studi Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI menyelenggarakan seminar internasional Jawa kuno bertajuk ‘Mengenang Jasa-Jasa Prof Dr PJ Zoetmulder SJ, Kajian Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa Kuno’.
Dalam seminar tersebut, banyak pakar diundang dan mereka membahas berbagai tema dalam studi Jawa kuno. Belum lagi seminar-seminar lainnya yang juga membahas tentang sosok pelopor fundamen Jawa kuno, Romo Zoetmulder.
Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) ingin sekali lagi menyajikan simposium tentang Zoetmulder, namun dengan audiens yang lebih umum. Tidak terbatas pada lingkaran filolog dan arkeolog saja.
“Terutama audiens para penulis muda agar mereka generasi millenial ini, bisa mengenal kekayaan studi Romo Zoetmulder,” ungkap salah satu penggagas tema BWCF 2019, Prof Toety Heraty Noerhadi Roosseno, dalam konferensi pers BWCF 2019 di Cemara 6 Galeri, Jakarta Pusat.
Ia masih ingat betul pada 1995, setelah Romo Zoetmulder wafat, untuk memperingati 100 hari meninggalnya di Yogya pada 10 Oktober 1995, diadakan sebuah seminar berjudul ‘Sarasehan Nasional Menggugat Keintelektualan Kita, 100 Hari Wafatnya Zoetmulder SJ’. Judul seminar yang bagi Prof Toety, masih sangat penting di era digital sekarang.
Seminar tersebut mengingatkan, bahwa keintelektualitasan betapapun kita kini warga global, seyogyanya adalah keintelektualitasan yang berakar kokoh pada apa yang kita miliki sendiri. Suatu jenis keintelektualitasan yang memiliki akar-akar kepada kekayaan rohani dan kebudayaan yang kita miliki sendiri.
Bagi Prof Toety, sosok Romo Zoetmulder adalah sosok yang sangat sederhana. Ia menghayati dan memaknai hidup serta membumi. Ia sehari-hari menjalani hidupnya dengan penuh disiplin waktu dan pikiran. Ia menjalankan aktivitas di Gereja Hati Santa Maria Tak Bercela Kumetiran, Yogyakarta, yang berjarak dua kilometer dari Gereja Kidul Loji.
“Bagaikan hidup Immanuel Kant dari bangun pagi, sarapan, pergi ke kantor, pulang, makan malam, baca majalah atau koran, hingga tidur malam, semuanya selalu dilakukan nyaris presisi atau selalu tepat waktu,” ungkap dia yang dalam konferensi pers tersebut duduk di atas kursi rodanya.
Para sahabat Romo Zoetmulder mengenang sosoknya juga sebagai sosok yang disiplin dalam berpikir, berbicara, dan bertindak. Benar bila ada yang mengatakan, selama berkarya sebagai imam dan cendekiawan di kampus, tidak pernah terdengar desas-desus tentang kecerobohan Romo Zoetmulder. Keugahariannya, kedalaman ilmunya, di tengah situasi pragmatis-kompromi dan ‘pengkhianatan-pengkhianatan intelektual’, justru sekarang menjadi sesuatu yang amat langka, dan semua harus bercermin kepadanya.
Romo Zoetmulder yang bernama lengkap Petrus Josephus Zoetmulder ketika wafat di Yogya, mewariskan banyak sekali kertas-kertas kerja studi Jawa kuno dan naskah-naskah terjemahan Kakawin (puisi Jawa kuno), Parwa (prosa Jawa kuno), kidung atau puisi berbahasa Jawa pertengahan sampai tembang-tembang ke dalam huruf Latin.
Dari buku ‘Karas, Jejak-Jejak Perjalanan Keilmiahan Zoetmulder’ yang dihimpun Endah Budiarti, Peni Aji, Kartika Setyawati, dan Yosephin Apriastuti Rahayu, terdapat sekitar 223 naskah kerja. Belum lagi koleksi-koleksi buku, lontar-lontar, dan manuskrip-manuskrip kuno milik Romo Zoetmulder. Semua peninggalan tersebut kini disimpan dan dirawat dalam Perpustakaan Artati yang dikelola Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
“Jasa Romo Zoetmulder bagi penelitian kebudayaan, sastra, dan religi Jawa kuno, sangat luar biasa. Studi-studinya termasuk menjadi fundamen dasar bagi siapa saja yang ingin menekuni dan melakukan penelitian mengenai Jawa kuno,” kata Prof Toety lagi.
Dari karya-karyanya, kita menjadi tahu bahwa sesungguhnya masyarakat Jawa kuno telah memiliki tradisi literasi yang masa rentangnya ratusan tahun. Para wiku Jawa kuno memiliki kemampuan membaca sumber-sumber Sansekerta dan kemudian mengolah, mengadaptasi kisah-kisah asli, mengambil sari patinya, lalu menjadikannya sesuatu yang milik sendiri atau mencipta kisah lain yang tak kalah unggul dalam segi susastra dan filsafat India.
Namun ironisnya, generasi milenial sekarang hampir sama sekali tidak mengenal isu-isu dan tema-tema sastra Jawa kuno yang sesungguhnya masih sangat relevan dan aktual bagi sumber inspirasi proses penciptaan karya-karya modern.
BWCF 2019 pun sengaja mengangkat sosok Romo Zoetmulder, agar generasi milenial bisa mengenal sosoknya serta dapat mengikuti bagaimana perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.
Rangkaian acara selama tiga hari yakni 21-23 November 2019 akan diisi beragam acara berkualitas yang khas Jawa, mulai dari bincang buku bersama penulis dimana buku-buku bertemakan Jawa kuno, ada juga pertunjukan musik keroncong, akan ada juga morning yoga dan meditasi, bazaar buku, simposium, serta workshop dongeng.
Selain itu, juga akan ada pertunjukan musikal puisi malam, menulis lontar bersama, serta membaca relief. Dan yang spesial juga adalah Penganugerahan Sang Hyang Kamahayanikan Award di pembukaan BWCF 2019.