REPUBLIKA.CO.ID, Imlek di Betawi tak ramai bila tanpa Tanjidor. Ya, kesenian Betawi ini sudah sejak lama ambil bagian dalam memeriahkan perayaan tahun baru Cina atau disebut juga Sincia di Ibu Kota. Tanjidor melebur bersama kegembiraan masyarakat Cina di Indonesia yang merayakan Imlek.
Musik Tanjidor telah ada sejak zaman Belanda. Berasal dari bahasa Portugis tangedor yang berarti alat-alat musik berdawai, kesenian ini mulanya berkembang di kawasan Jakarta Timur.
Kesenian ini dimainkan para pekerja villa mewah milik para saudagar atau petinggi pemerintahan Hindia Belanda. Seperti di Pondok Gede, Tanjung Timur, Ciseeng dan Cimanggis.
Musik ini dimainkan untuk mengiringi makan malam atau pesta majikan dan para tamunya. Alat musik yang dimainkan antara lain terompet, clarinet, dan tambur.
Awalnya mereka membawakan lagu-lagu Belanda, seperti Kramton, Bananas, Delsi, dan Walmes. Namun kemudian juga membawakan lagu jail-jali, kicir-kicir dan lainya. Kesenian ini terus meluas hingga kemudian menjadi kesenian yang mesti ada di perayaan hari-hari besar, salah satunya Imlek.
“Kesenian Tanjidor meluas ke Karawang, Bekasi, dan Cibinong sebelum akhirnya menjadi tradisi baru. Setiap lebaran, tahun baru dan Imlek terutama saat Cap Go Meh (hari ke-15 Imlek), kelompok musik tanjidor ikut memeriahkan suasana,” seperti ditulis Windoro Adi dalam Batavia 1740.
Menurut Abah Alwi, musik tanjidor ini akan berkeliling saat perayaan imlek. Para pemain musik tanjidor berkeliling dari satu rumah ke rumah lainnya dan menerima uang sawer dari tuan rumah yang merayakan Imlek.
“Kita tak tahu apakah Imlek tahun ini juga akan diramaikan tanjidor, yang datang berombongan antara lima hingga delapan orang. Membawa alat-alat musik berupa tanjidor (tambur besar), terompet, clarinet, seruling, dan trombone mebawakan lagu-lagu mars warisan Belanda tempo doeloe,” tulis Abah Alwi dalam Robinhood Betawi.
Konon muncul dan berkembangnya musik tanjidor hingga gambang kromong juga tak lepas dari perjalanan orang-orang peranakan Cina yang pindah tempat tinggal dari pusat kota ke pinggiran Batavia sekitar 1740 lantaran tekanan Hindia Belanda terhadap warga etnis Cina.
Seperti Gambang Kromong di Tangerang. Konon bermula dari kelompok musik yang terdiri atas sejumlah pekerja perkebunan tebu para tuan tanah Cina di Tangerang. Mereka memainkan alat musik gersek dari Cina yaitu tehyan, kongahyan, dan sukong.
Selain musik Tanjidor, ada hal unik lainnya saat perayaan Imlek terutama pada malam penutupan atau malam ke-15 yang disebut Capgomeh. Yakni tradisi ngapel (pria atau calon menantu sowan ke rumah perempuan). Menurut Abah Alwi, pada malam itu para siacue (nona) berdandan seelok mungkin. Sambil berdebar-debar menanti sang enghiong (Pemudia) pujaannya untuk ngapel.
Bagi seorang calon menantu yang tak muncul pada malam itu akan dianggap sebagai perjaka yang tak tau malu oleh keluarga perempuannya. “Calon menantu macam begini dianggap bikin malu calon mertua di depan para jiran (tetangga). Karena, bisa anggap itu mantu tafran alias bokek tidak punya fulus, mengingat saat wakuncar (waktu kunjung pacar) si calon mantu harus bawa sepasang ikan bandeng. Ikan paling mahal saat itu,” tulis Abah Alwi.