REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Upaya Kementerian Perdagangan untuk melakukan deregulasi ekspor dan impor diapresiasi Guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Hermanto J Siregar. Namun, khusus untuk impor pangan, kata dia, pemerintah diingatkan pentingnya memiliki data yang akurat agar kebijakan yang diambil tepat sasaran.
"Kalau datanya salah, kebijakannya juga menjadi salah," kata Hermanto dalam keterangan pers, Kamis (1/12).
Hermanto yang juga Wakil Rektor IPB itu mengapresiasi laporan pengendalian impor di bidang hortikultura dan komoditas seperti beras, sepanjang laporan itu disertai dengan data yang akurat. Ia mengingatkan, pemerintah harus berhati-hati dalam melakukan impor di bidang hortikultura dan komoditas pangan. Impor, kata dia, agar jangan sampai merugikan petani.
Hermanto menyarankan agar Kementerian Perdagangan harus sering melakukan inspeksi mendadak dan mengambil sampling data secara acak terkait jumlah serta kualitas data pangan yang diimpor. Hermanto mendukung rencana Kementerian Perdagangan melakukan deregulasi di bidang ekspor dan impor.
Namun untuk penghapusan kewajiban verifikasi surveyor (LS) untuk komoditas beras, baja dan migas, ia mengingatkan perlunya kehati-hatian sebelum kebijakan itu diambil. “Jangan sampai deregulasi itu diartikan sebagai kebijakan yang membuka kebebasan atau mempermudah kegiatan impor,” tutur Hermanto seraya menegaskan dirinya termasuk orang yang tidak mengharamkan impor.
Namun prinsipnya, kata dia, harus mengutamakan produksi sendiri. Deregulasi harus mampu menjangkau kepentingan publik lebih luas. “Makanya perencanaan impor harus bagus. Laksanakan impor, simpan dulu di gudang Bulog. Nanti dilemparkan ke pasar pada saat panen kita belum datang-datang,” sambung Hermanto.
Terkait rencana penghapusan verifikasi survei data impor pangan, Hermanto menilai itu berisiko. Ini karena bisa mengakibatkan ketidaksesuaian data dan tidak adanya jaminan terhadap kualitas standar yang diharapkan dari impor tidak terjamin.
Ia malah mengkhawatirkan jika deregulasi yang menghapus kewajiban verifikasi surveyor itu dilakukan hanya untuk memudahkan impor. “Tentu ada kerugian untuk petani. Kalau tidak banyak produksi, tidak perlu impor, dan mempermudah impor,” kata dia.
Hermanto memperkirakan, kalau beras dari Vietnam murah, kemudian ada impor, beras produksi kita akan kalah walaupun kualitas mereka (beras Vietnam) menengah ke bawah. “Jadi boleh saja dibuat kemudahan seperti itu (impor-Red), tapi pelaksanaannya harus betul-betul pada saat stok beras kita sedang menipis jadi tidak mengganggu harga petani. Kalau baru panen itu diterapkan, harga bisa anjlok, petani kita rugi,” ujarnya.