Pasangan Peserta Pemilu Presiden 2014 Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla saling menyapa sebelum Debat Capres-Cawapres di Jakarta, Senin (9/6).
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kedua pasang capres-cawapres saling beradu gagasan dalam debat pertama yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Balai Sarbini, Jakarta, Senin (9/6). Secara substansi, gagasan di antara keduanya dinilai saling melengkapi.
Pengamat politik dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten, Gandung Ismanto mengatakan, pasangan Prabowo-Hatta cenderung menyampaikan gagasan-gagasan besarnya secara umum dan global.
Sedangkan, Jokowi-JK lebih mampu dalam menerjemahkan visi misinya menjadi sebuah program yang langsung bisa dilaksanakan dalam tataran teknis.
"Sebenarnya antara Prabowo dan Jokowi keduanya saling melengkapi," katanya saat dihubungi ROL, Selasa (10/6).
Gandung menjelaskan, semua orang tidak memungkiri kebocoran anggaran negara dan hasil kekayaan alam Indonesia memang tidak sedikit.
Prabowo menitikberatkan persoalan tersebut karena kurangnya jaminan kesejahteraan terhadap penyelenggara negara. Sehingga mendorong mereka untuk berperilaku koruptif.
Pasangan nomor urut 1 ini kemudian menjanjikan kenaikan gaji dari para penyelenggara negara tersebut mulai dari hakim, jaksa, polisi, PNS hingga pejabat tinggi negara untuk mengatasi hal tersebut.
Menurut Gandung, rendahnya kesejahteraan penyelenggara negara memang merupakan salah satu penyebab yang mengakibatkan terjadinya perilaku korup di negara ini.
Tetapi, kata dia, hal itu tidak menjadi sebab pokok atau satu-satunya sebab perilaku koruptif terjadi. Karena masih banyak penyebab lainnya terutama moralitas.
"Yang disampaikan Pak Prabowo itu bukan satu-satunya persoalan. Sebetulnya penguatan fungsi aparatur negara yang lebih penting," ujar dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Ageng Tirtayasa (Untirta).
Dalam mencegah kebocoran keuangan yang terjadi, lanjutnya, Jokowi-JK menawarkan dengan penerapan manajemen pengawasan berbasis teknologi informasi. Seperti e-goverment, e-budgeting, e-auditing, pajak online, dan IMB online. Hal itu dirasa akan efektif untuk mengawasi dan mengurangi potensi penyelewengan anggaran.
Tetapi, kata Gandung, Jokowi harus sadar bahwa hal tersebut tidak mudah dilakukan dalam jangka waktu yang singkat. Waktu lima tahun diprediksi tidak akan cukup untuk menerapkan program tersebut di seluruh Indonesia. Infrastruktur untuk sampai menuju ke sana dirasa belum siap. Sebab, disparitas sumber daya manusia di Indonesia sangat jauh antara satu dengan yang lain.
Hal itulah yang menyebabkan gagasan Jokowi dalam digitalisasi di seluruh Indonesia akan sulit terwujud dalam waktu lima tahun. Karena menerapkan digitalisasi di seluruh Indonesia tidak semudah di satu daerah saja. "Secara substansi bisa diterima. Tapi secara praktis sulit terlaksana untuk seluruh Indonesia," ujarnya.
Gandung berpendapat, Indonesia membutuhkan sosok ideolog yang tegas serta mampu merangkul semua elemen bangsa. Dan di saat yang sama, Indonesia juga membutuhkan manajerial yang teliti dan detail hingga sampai tataran teknis.