REPUBLIKA.CO.ID, Oleh:Ahmad Rozali, Warga Negara Indonesia di Canberra
CANBERRA -- Puluhan Warga Negara Indonesia (WNI) di Canberra, Ibu Kota Australia menggelar acara belasungkawa atas wafatnya Intan Olivia Marbun, korban ledakan bom di Samarinda, Kalimantan Timur pekan lalu. Acara bertajuk ‘Lilin untuk Intan’ yang digelar Persatuan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) di Canberra dilangsungkan secara hidmat di kampus The Australian National University (ANU) Selasa (15/11) petang.
Intan yang sedang mengenakan tas sekolah tampak samar-samar di dalam foto yang diterangi puluhan lilin. Berdiri membentuk lingkaran, puluhan WNI yang hadir menyampaikan pendapatnya atas pengeboman ini.
Ketua PPIA Gigih Prambudi dalam sambutannya mengutuk keras pengeboman gereja Oikumene, Samarinda yang menyebabkan Intan meninggal dunia. Gigih menyebut pengeboman itu sebagai tidakan yang tidak berperikemanusiaan.
“Kita berkumpul di sini untuk mengenang wafat Intan akibat ulah yang tidak berprikemanusiaan,” kata Gigih.
Seorang mahasiswa Pascasarjana ANU, Leo Sudaryono menganggap pengeboman gereja yang menyebabkan tiga balita lainnya mengalami luka bakar ini sebagai gunung es yang menyimpan dendam yang menggunung di bawahnya. Pekerjaan rumah sebenarnya, lanjutnya, adalah menemukan sumber kebencian yang sudah kadung menggunung untuk diobati.
Leo menuding pengeboman ini adalah akibat dari berkembangnya kebencian dan kekerasan. Karena itu ia mengajak semua kalangan tidak melakukan aksi pembiaran terhadap semakin maraknya kebencian.
Lebih jauh, ia menghawatirkan akan terjadinya kejadian serupa di masa depan. “Ini tidak akan pernah berhenti selama kekerasa menjadi bahasa yang kita maklumi dan terima,” ujarnya.
Chitra, seorang mahasiswa S3 ANU mencurigai pengeboman di Samarinda tidak ‘berdiri sendiri’. Menurut dia pengeboman ini bersumber dari kebencian terhadap orang yang berbeda.
“Kita dihantui kebencian yang besar terhadap liyan, terhadap siapapun yang berbeda dalam hal apapun. Kejadian (pengeboman) ini bersumber dari sana. Mulai dari sosial media, hingga grup whatsapp keluarga, aroma kebencian semakin terasa,” ujar ibu tiga anak ini.
Acara belasungkawa kali ini juga melibatkan pembacaan puisi. Dalam kesempatan ini, saya membacakan sebuah puisi berjudul “Anakku Tak Bisa Belajar Sembahyang Lagi”:
Anakku Tak Bisa Belajar Sembahyang Lagi
Anakku tak bisa belajar mengaji lagi…
Sebab gereja yang dibangun dengan tumpukan batu bata dari doa kini luluh-lantak diterjang amarah dan fitnah
Tiang-tiang penyangganya yang semestinya menjunjung rasa kemanusiaan telah patah
Sehingga atapnya yang yang berukir indahnya kasih-sayang terhempas ke lantai dan pecah berkeping-keping.
Anakku tak bisa belajar sembahyang lagi…
Anakku tak bisa belajar mengaji lagi…
Masjid-masjid tempat kami sewaktu kecil dulu belajar menghafal huruf-huruf hijaiyah telah dipenuhi amarah yang keluar dari mulut-mulut penebar fitnah
Alquran dan Alhadist yang berisi ajakan kedamaian tak lebih dari dalil pembenar nafsu
Dari mulut itu, kalimat takbir yang syahdu terdengar menyeramkan
Dari mulut itu, Islam yang berarti keselamatan menjelma jadi kebencian
Api amarah itu yang membawa Intan pergi. Api yang sama yang merongrong kami yang beragama untuk saling menabur benci
Lalu ke mana kelak anakku kelak akan belajar mengaji lagi?