Oleh: Yusuf Maulana *)
Kali kedua kaki Kons Kleden menginjakkan kaki ke rumah Buya Hamka di Kebayoran Baru. Pada kunjungan pertama, Desember 1980, wartawan Katolik ini gagal mewawancarai Hamka. Pasalnya, pada waktu yang telah disepakati, sang tuan rumah mendadak ada acara yang tidak bisa ditepikan. Istri Buya Hamka, mewakili sang suami, memohonkan maaf pada sang wartawan. Lalu janji pertemuan pengganti pun dibuat.
Pada kunjungan kedua untuk meliput pandangan sang ulama terhadap masa depan Islam di tanah air, Kons memiliki kans bersua Hamka. Pukul lima sore ia dijadwalkan bersua penulis Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial ini. Kons bukan tak tahu tamu sang tuan rumah berjibun bak pasien mengantre di rumah dokter spesialis satu-satunya di daerah pinggiran. Tebersit di hati apakah dirinya bisa diterima pada waktu yang dijanjikan.
Ada aneka latar tamu yang datang hari itu. Dari yang berpenampilan kaya, intelek hingga—maaf—compang-camping. Tatkala waktu mendekati pukul lima, tamu yang berbusana kumal menyalip Kons. Sebenarnya, Kons mestilah diterima lebih dulu kendati waktu belum tepat di angka lima. Ternyata lelaki dengan penampilan tak sedap dipandang itulah yang dipanggil lebih dulu tuan rumah.
Buya Hamka menerima para tamunya di beranda rumah. Apa yang dilakukan tuan rumah pada salah satu tamu, diketahui tamu-tamu lainnya.
“Sama hangatnya, sama penuh perhatiannya, seperti Buya menerima tamu-tamu yang datang bermobil atau berdasi,” sebut Kons terhadap penerimaan Hamka pada tamu yang menyalipnya itu.
Sang tamu yang menyalip Kons tampak menyampaikan berkas pada Hamka. Di kolom harian Pelita yang kemudian dimuat ulang dalam Perjalanan Terakhir Buya Hamka, buku hasil suntingan tim wartawan Panjimas (1982), Kons bercerita lebih lanjut.
Setelah berbincang sebentar dengan lelaki serupa gelandangan itu, Hamka masuk ke rumah. Tak lama menghampiri sang tamu itu dan menyerahkan sesuatu ke dalam tangannya.
“Mataku masih sempat melirik bahwa di dalam tangan Buya terselip beberapa lembar uang ribuan,” jelas Kons bersaksi.
Perasaan kecil hadir dalam hati Kons mendapati adegan di hadapannya itu. Sampai akhirnya namanya disebut tepat pada pukul lima.
Tidak hanya kali itu saja orang-orang yang datang bertamu menghajatkan soal suramnya dapur rumah tangga mereka. Sebabnya beragam musibah. Seperti disebutkan putra Hamka, Rusjdi, dalam Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr K.H. Hamka (1981), hal biasa apabila rumah mereka didatangi perempuan gelandangan yang menggendong anak dan meminta bantuan.
“Untuk orang-orang yang malang itu, biasanya dikasih makan dan diberi uang ala kadarnya, Rp 1000,- atau Rp 500,-, kadang-kadang Ayah tak punya uang dan anak-anak tak ada di rumah. Mereka (para tamu itu) pulang dengan hampa tangan, setelah dihibur dan dibujuk dengan nasihat-nasihat,” cerita Rusjdi.
Orang yang tahu keseharian Buya Hamka mafhum, sang ulama ini bukan orang yang kaya raya secara harta benda. Reputasi namanyalah yang membuat orang percaya hingga tak enggan membantu. Tapi Hamka tentunya pantang meminta-minta. Di luar sebagai juru dakwah, menulis buku adalah profesinya, dengan honorarium dari royalti inilah yang bisa dijadikan pegangan menghidupkan anak dan istrinya. Ada keberkahan dalam kecukupan harta yang ada, kendati menurut penglihatan orang banyak jumlahnya itu kecil secara nominal. Yang jelas, tatkala ada orang yang menitipkan atau mengamanahi uang padanya, uang itu pula yang kemudian diberikan Buya kepada para tamu.
Mengapa Buya Hamka berbelas kasih pada para papa yang hanya memenuhi beranda rumahnya saban hari itu?
“Kadang-kadang musuh itu bukanlah berupa perbarangan, tetapi berupa keadaan. Di dalam seluruh dunia sekarang ini, dan di dalam negeri kita sendiri pun terdapatlah pula tiga musuh besar, … ialah kebodohan, kemelaratan alias kemiskinan, dan penyakit.” Demikian Buya Hamka berkhutbah dalam shalat Idul Adha 1382 Hijriah di halaman Masjid Al Azhar (materi khutbah dimuat ulang dalam Gema Islam No 32, 15 Maret 1963).
Ini tampaknya hujjah dan jawaban mengapa Hamka ringan tangan membantu kalangan dhuafa, selain tentunya untuk menuruti sang junjungan Rasulullah. Jihad melawan kemiskinan sudah menjadi agenda lama Buya Hamka. Ia pahami betul denyut nadi sebagai anak dari keluarga yang lebih mementingkan ilmu ketimbang menghimpun harta benda. Merantau ke negeri orang diniati bukan untuk memperkaya diri, selain dalam soal kedalaman ilmu. Risiko ini yang belum mesti dipedomani saudara seagamanya yang “ditakdirkan” sebagai orang miskin harta. Maka, Hamka terpanggil untuk menyerukan Muslimin untuk saling membuka tangan membantu sesama. Agar saudara mereka tidak dicaplok oleh orang beriman lain tapi menyimpan misi lain.
Yang disaksikan banyak orang, semisal Kons Kleden, adalah bukti realisasi komitmen Buya Hamka untuk membantu mereka yang berada dalam posisi di bawah. Tak semata nasihat penyemangat untuk terus gigih bekerja, tapi juga bekal meski jumlahnya ala kadar dalam amplop di sebalik jabatan pada para tetamu berhajat itu. Buya tentu ingin mengajarkan dirinya yang acap diundang dan bicara soal Islam di mana-mana perlu memberikan contoh. Ia yang terbatas tetap perlu memberi, sekecil apa pun. Hingga yang lain, para muhsinin jamaah pengajiannya atau simpatisan dakwahnya yang dikaruniai rezeki berlimpah, tergerak mengikuti. Teladan nyata dari alim akan membekas dalam ingatan dan tindakan umat.
Teladan yang bersahaja dan praktis seperti di atas, lebih dinantikan umat ketimbang seruan mengagetkan yang terkesan “menegakkan syariat” tetapi melupakan keteladanan para penyerunya pada aspek syariat lainnya. Semisal wacana menarik zakat maal sebesar 2,5% pada aparat sipil negara tiap bulannya. Seolah peduli pada mengentaskan kemiskinan dengan instrumen zakat, tapi disebalik itu tidak disiapkan kesungguhan dan kejujuran mengajak kebaikan pada syariat lainnya. Yang gamblang, pada waktu lain justru teladan yang menyakitkan umatlah yang ada. n
*) Kurator buku lawas Perpustakaan Samben, Yogyakarta; penulis buku "Mufakat Firasat", dan "Nuun, Berjibaku Mencandu Buku".