Tulisan ini terinspirasi oleh sebuah film yang sangat menginspirasi, memotivasi, dan membuat penontonnya berpikir di luar kebanyakan orang, namun tetap luar biasa. Kisah tentang seorang anak yang menuntut ilmu, tidak hanya sekedar untuk mengejar ijazah, selamat menyimak...
Dia seorang anak tukang kebun yang punya hasrat kuat untuk belajar. Ketika ayahnya meninggal, ia pun hidup sendirian. Majikannya mengizinkannya untuk tinggal di rumahnya dan mengerjakan tugas-tugas pekerjaan rumah.
Hasrat belajarnya tak padam, sampai-sampai ia meminjam seragam lama milik anak majikannya supaya bisa belajar ke sekolah. Ia pun masuk ke kelas mana saja yang ia suka.
Anak majikannya mulai meminta anak tukang kebun itu untuk menggantikan mengerjakan PRnya. Bahkan, ujiannya! Anak majikannya itu pun mulai menikmatinya.
Suatu saat, seorang guru melihat seorang anak kelas 6 yang mengerjakan soal untuk kelas 10. Sang guru bertanya nama anak itu. Karena majikan anak itu merupakan orang terpandang, maka si majikan tidak mau malu atas perbuatan si anak tukang kebun tadi. Maka, terjadilah perjanjian antara si majikan dengan si anak tukang kebun itu.
“Kau yang memulainya, maka kau juga yang harus mengakhirinya,” kata majikannya.
Maka, jadilah si anak tukang kebun tadi memakai nama dari anak si majikan. Ia pun belajar engineering, untuk jadi seorang insinyur. Sementara dia kuliah, si anak majikan tadi pergi ke London.
Si anak tukang kebun ini pun masuk kuliah di sebuah universitas khusus engineering, yang terbaik di negaranya. Teman-temannya tidak ada yang mengetahui siapa dia sebenarnya. Yang mereka tahu, dia berbeda. Ya, berbeda.
Di hari para mahasiswa baru dikumpulkan untuk bertemu dengan Rektornya, ia sudah mulai berulah dengan memberikan pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh rektor tersebut. Di kelas, dia juga membuat dosennya tergagap dengan jawabannya tentang mesin.
Dia menjelaskan dengan sangat sederhana, tapi disalahkan oleh dosen tersebut. Namun, dosen tersebut membenarkan seorang temannya yang menjawab persis sama seperti isi buku yang dihafalkannya. Maka, dia berusaha menjelaskan pada dosennya, tapi justru dikeluarkan dari kelas.
Ketika dia akan keluar kelas, langkahnya terhenti dan dia berbalik lagi, dan mengatakan satu kalimat panjang yang rumit pada dosennya. Dosennya tidak mengerti dan bertanya darimana dia memperoleh kalimat itu.
Maka dia berkata sesuatu yang membuat seisi kelas tertawa, “Buku. Kalimat itu ada di buku, Pak. Tapi saya lupa apa bukunya.”
Pada waktu sesi pemotretan semua mahasiswa beserta rektor, tempat duduk diatur berdasarkan ranking. Dia memperoleh ranking pertama, sehingga duduk di depan, tepatnya di sebelah kanan Rektor.
Dia pun berbisik pada Rektor tersebut dan berkata, “Apakah tempat duduk harus diatur berdasarkan ranking?”
Sang Rektor menjawab, “Kenapa? Kau ada masalah?”
“Saya ada masalah dengan seluruh sistem penilaian itu. Semua ini seperti sistem kasta saja, yang memperoleh nilai A seakan menjadi raja, dan yang memperoleh nilai C menjadi budak. Mengapa kelemahan seseorang harus dipamerkan dalam papan pengumuman? Apakah jika golongan darah Bapak kekurangan hemoglobin, lalu dokter akan mengumumkannya di seluruh rumah sakit? atau menyiarkannya di TV?”
Dia berbeda, dia unik, tidak berpikir seperti kebanyakan orang, namun tetap outstanding, extraordinary, selalu meraih ranking 1 di kelasnya. Ketika dua teman baiknya mengeluh akan ranking mereka yang selalu ranking 1 dan ranking 2 dari bawah, dia berkata, “Kalian tahu kenapa aku selalu ranking 1? Karena aku mencintai mesin. Teknik adalah hasratku, engineering is my passion.”
Kemudian dia berkata pada salah satu temannya. “ Apa hasratmu? Hasratmu ialah menjadi fotografer binatang di alam liar. Kamu mencintai binatang tapi menikah dengan mesin. Tinggalkan kuliah teknik, dan jadilah juru foto alam liar. Bekerjalah sesuai bakatmu!”
Teman yang satunya menimpali, “Pacar dan istriku adalah teknik, tapi mengapa aku ada di urutan akhir?”
Maka dia menjawab, “Karena kau pengecut. Lihatlah tangannya, jarinya sedikit tapi cincinnya lebih banyak. Satu untuk ujian, satu untuk pernikahan adiknya, satu untuk pekerjaan. Jika takut masa depan, mana bisa menjalani hidup? Dan pada apa kau akan fokus saat ini?”
Begitulah, selalu saja ada yang mengusik benaknya, tentang sistem, lebih tepatnya sistem pendidikan. Suatu saat dia pernah dipanggil sang Rektor untuk datang ke ruangannya, terkait masalah mahasiswa yang bunuh diri.
Sang rektor menanyakan, apakah dia menyalahkannya atas kematian mahasiswa itu? Anak itu berkata bahwa dia tidak menyalahkannya tapi menyalahkan sistemnya.
Lantas, sang Rektor berkata bahwa selama 32 tahun ini dialah yang telah berhasil menaikkan peringkat universitas itu dari nomor 28 ke nomor 1. Namun, apa yang dikatakan mahasiswa itu?
“Pak, nomor 1 apanya? Tidak ada mahasiswa di sini yang membicarakan tentang ide-ide baru, atau penemuan-penemuan baru, yang ada hanya nilai, dan bekerja di Amerika. Kami tidak memperoleh ilmu di sini. Kami hanya diajarkan bagaimana memperoleh nilai yang bagus.”
Sampai akhirnya setelah kelulusan, dia pergi meninggalkan kampus. Tak pernah diketahui kemana ia pergi. Kedua teman baiknya beserta satu teman sekelasnya yang terkenal sombong, dan seorang perempuan yang mencintainya-yang tak lain adalah putri dari sang rektor-, pergi untuk mencari keberadaannya.
Ketika mereka menemukannya, ternyata dia mendirikan sebuah sekolah. Tapi, jangan dibayangkan seperti sekolah formal pada umumnya, jelas berbeda. Kalau aku pernah membaca sebuah buku yang sangat bagus berjudul Totto-chan, ya seperti itulah kira-kira sekolah yang didirikannya. Dia mendirikan sekolah engineering untuk anak-anak, tanpa perlu seragam, dan anak-anak dapat langsung praktikum dengan mengaplikasikannya pada benda-benda di sekitarnya.
Baru diketahui belakangan, bahwa ternyata ialah ilmuwan yang sedang dicari-cari oleh temannya yang sombong tersebut. Ilmuwan yang telah mempunyai 400 hak paten, dan dicari-cari oleh orang-orang Jepang.
Tak henti aku merasa kagum dengan jalan cerita yang dibangun oleh tontonan ini, karena itulah yang menggerakkanku untuk menuliskannya. Sebagai bahan inspirasi, motivasi, dan berbagi cerita ini pada orang lain. Atau mungkin, mengingatkannya bagi yang sudah lebih dulu mengetahui tontonan ini. Jadilah orang yang berguna, maka kesuksesan akan mengikutimu...
Tri Wulandani
Mahasiswa alih jenjang D3 ke D4 ITB