REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Parni Hadi
Dari Tanah Karo sampai Manado, bencana mendera Indonesia. Mulai dengan letusan Gunung Sinabung, di Tanah Karo, Sumatera Utara, erupsi Gunung Marapi di Sumatera Barat, banjir yang melanda Jakarta dan sepanjang pantai utara Jawa, letusan Gunung Raung di Jawa Timur sampai banjir bandang di Manado, Sulawesi Utara. Sambung-menyambung!
Penyebab banjir tak bisa dipisahkan dari praktik korupsi dari hulu sampai hilir. Penyebab gunung meletus dan gempa bumi memang peristiwa alam, bukan korupsi. Tapi, cara penanganan, upaya pencegahan jatuhnya korban dan pemberian bantuan kepada korban bencana selama ini tidak bebas dari praktek korupsi.
Korupsi menurut definisi yang lebih luas bukan hanya soal suap menyuap atau “menilep” uang negara. Jauh lebih luas dari itu. Diskursus spiritual, theologi, intelektual dan moral tentang korupsi merumuskan bahwa korupsi adalah tindakan yang menyimpang dari kesucian atau penyimpangan dari sesuatu yang ideal.
Jadi, korupsi meliputi penyalahgunaan wewenang dari pejabat legislatif, eksekutif dan yudikatif untuk kepentingan pribadi, kelompok, dan atau partai politik masing-masing sampai dengan perusakan lingkungan, termasuk pembabatan hutan liar (illegal logging), konversi lahan hutan menjadi ladang pertanian, perkebunan, permukiman, dan fasilitas wisata di daerah hulu sungai.
Pelaku korupsi tidak mengenal SARA (suku, antar golongan, ras dan agama), gender, profesi, lokasi dan usia. Semua agama melarang pemeluknya melakukan korupsi, tapi terbukti koruptor adalah orang-orang yang rajin beribadah di masjid, gereja dan pura. Korupsi telah sukses melakukan regnerasi dan suksesi, karena usia pelakunya semakin muda saja. Korupsi berlangsung mulai dari hulu (posisi puncak), tengah sampai hilir, di pusat dan daerah.
Sumber bencana
Air hujan merupakan rahmat Allah dan sungai sebagai penyalur rahmat itu. Sesungguhnyalah, sungai adalah sumber kehidupan (air dan protein), urat nadi perhubungan/ekonomi, pembentuk peradaban dan pemberi harapan. Tapi akibat korupsi, air hujan dan sungai berubah menjadi sumber bencana.
Bencana berbasis sungai bermula dari daerah hulu sungai yang rusak sebagai dampak dari kebijakan pemerintah (pusat dan daerah) dan pelaksanaannya yang tidak pro daerah hulu sungai. Ini diperparah lagi oleh kerakusan, korupsi dan kemiskinan.
Tata ruang dan wilayah daerah pegunungan atau hulu sungai, amburadul. Wilayah hutan tutupan/konservasi beralih fungsi menjadi lahan pertanian/perkebunan, pemukiman orang kaya dan orang miskin dengan alasan masing-masing serta kompleks industri pariwisata: hotel, motel, dan vila dengan segala fasilitas rekreasinya. Akibatnya, daerah resapan air berkurang, erosi, longsor dan banjir bandang di musim pemghujan dan sulit air di musim kemarau.
Karena tidak punya pilihan lain, orang-orang miskin terpaksa mencari nafkah dan tinggal di daerah hulu sungai/gunung dan pinggir sungai. Mereka kalah dan tergusur oleh orang-orang yang lebih kuat, yakni orang kaya, kaum berpendidikan lebih tinggi dan pemilik industri. Kaum miskin merambah dan menggarap daerah hulu dan pinggir sungai karena lapar. Kelaparan di perut menyebabkan mereka lapar lahan untuk sumber kehidupan dan tempat tinggal. Mereka melakukan itu karena kebutuhan (need).
Petani miskin menanami lereng-lereng terjal dan tebing curam dengan sayur mayur, yang akarnya tidak kuat mencengkeram tanah, hingga mudah terjadi erosi, “run off”, longsor dan banjir dengan kandungan sedimen yang tinggi yang berakibat pendangkalan sungai. Di daerah tengah dan hilir sungai, orang miskin membangun rumah-rumah kumuh yang berakibat pada penyempitan sungai . Mereka juga menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah. Lagi-lagi, ini akibat kemiskinan yang berdampak pada kurang pendidikan.
Sementara itu, orang kaya, kaum berpendidikan dan pemilik industri merambah dan menggarap hulu sungai , tengah dan hilir sungai sebagai tempat tinggal mewah, rekreasi dan lahan usaha karena kerakusan (greed) untuk mengejar kepuasan (pleasure). Vila dan kompleks perumahan mewah di lembah dan pinggir sungai mereka beri nama-nama indah seperti “Green Valley”, “Valley View” dan “River View”. Orang miskin tak mau kalah, mereka sebut pemukinan mereka yang kumuh dipiinggir kali dengan “girli”, singkatan pinggir kali.
Harus diakui, orang-orang miskin karena kurang pendidikan mudah dibujuk untuk bekerja sama oleh orang-orang kaya untuk merusak hutan dan daerah aliran sungai.Kebijakan pemerintah yang dikenal dengan empat pro, yakni “pro growth” (pertumbuhan), “ pro jobs” (menciptakan lapangan kerja) ,” pro poor” (bersahabat dengan kaum miskin) dan “pro environment” ( menjaga lingkungan) tidak berjalan sebagaimana mesthinya. Alasannya, yang berlangsung adalah kebijakan pro yang ke lima, yakni: “proyek”. Hampir semuanya dan semaunya dijadikan proyek dengan segala praktik korupsinya.
Gerakan selamatkan sungai
Sungai telah melahirkan kerajaaan besar dengan peradaban Nusantara. Contohnya, Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di tepi Sungai Musi dan Kerajaan Majapahit yang berpusat di dekat Sungai Brantas. Kedua sungai itu telah menjadi saksi (bisu) kejayaan dan sekaligus keruntuhan Sriwijaya dan Majapahit.
Sungai kini menjadi penampung limbah kehidupan kaum miskin dan diperburuk oleh sampah industri dan limbah kehidupan modern.
Menyelamatkan sungai berarti membangun peradaban baru, yakni mencintai alam dan kaum miskin serta atau dengan jalan memberantas korupsi dari hulu sampai hilir. Ini harus dimulai dengan membuat langkah-langkah besar yang berupa “kebijakan-kebijakan” sebagai payung dan pedoman langkah tindak. Tidak hanya itu, yang tak kalah pentingnya adalah melalkkan “kebajikan-kebajikan” yang berupa langkah-langkah nyata besar dan kecil dalam bentuk program pemberdayaan yang produktif, inklusi dan terintegrasi sekaligus.
Perlu gerakan untuk menyelamatakan sungai, mulai dari hulu sampai hilir dengan melibatkan multi-pihak yang terpanggil, mulai dari pemerintah, politisi, pengusaha, akademisi, media massa, LSM, rakyat kecil dan tentu saja KPK (Korupsi Pemberantasan Korupsi).
Singkat kata, mengatasi banjir harus melibatkan upaya pemberantasan korupsi dari hulu sampai hilir!.