Selasa 25 Aug 2015 06:31 WIB

Jangan Abaikan Dampak Krisis di Desa

Red: M Akbar
Budiman Sudjatmiko
Foto: matanews.com
Budiman Sudjatmiko

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Budiman Sudjatmiko (Komisi II DPR RI Fraksi PDI Perjuangan)

Dalam beberapa pekan terakhir ini terjadi penurunan cukup dalam terhadap nilai tukar rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Majalah “The Economist” membandingkannya dengan situasi yang terjadi pada Krisis Moneter 1997.

Analis keuangan, ekonomi, hingga publik di media massa maupun media sosial sungguh ramai membicarakan hal ini. Ada banyak analisis yang diberikan. Namun sangat disayangkan, sejauh ini tidak banyak yang membahasnya dari perspektif desa dan ekonomi pedesaan.

Menurut saya, ada perbedaan mendasar antara Krisis 1997 dan Krisis 2015. Pada Krisis 1997, nilai tukar melemah namun harga komoditas, dalam valuta asing (dolar AS), relatif tetap. Itu terjadi sebagai akibat dari petani yang banyak memproduksi komoditas ekspor, seperti: kopra, kopi, kakao, udang, kayu, dan lain sebagainya. Pada saat itu petani dapat menikmati harga jual yang sangat tinggi. Perputaran dana di desa yang sangat tinggi itulah yang kemudian menopang perekonomian nasional selama periode Krisis Moneter.

Namun pada Krisis 2015 kali ini sungguh berbeda. Krisis kali ini memunculkan pelemahan nilai tukar yang diikuti dengan jatuhnya harga komoditas ekspor pertanian, perikanan dan pertambangan. Harga beberapa komoditas di pasar internasional turun secara ekstrem.

Ini terlihat dari periode peak pada awal 2011, misalnya saja karet (- 70 persen), biji besi (-71 persen), gula (-60 persen), batu bara (-55 persen), sawit (-54 persen), kopra (-45 persen), kopi arabika (-42 persen), dan lain sebagainya. Pelemahan harga komoditas tersebut semakin cepat dalam setahun terakhir. Penurunan tersebut terjadi akibat dipicu oleh penurun harga minyak bumi (-60 persen). Jatuhnya harga minyak menjalar ke komoditas lain. Akibatnya, pada Krisis 2015 ini desa tidak dapat menopang perekonomian nasional dan sebaliknya yang terjadi justru desa merasakan dampak yang cukup dalam.

Merujuk pada situasi tersebut, pemerintah sudah seharusnya secara serius memperhatikan dampak krisis ekonomi di desa. Wacana dan kebijakan penanganan krisis hendaknya tidak didominasi oleh perspektif urban semata. Sebab pola Krisis 2015 kali ini berbeda dengan Krisis 1997.

Untuk itu ada beberapa langkah yang memungkinkan untuk dilakukan oleh pemerintah, diantaranya:

Pertama, menggelontorkan program dan anggaran ke desa secara masif, cepat, tepat sasaran dan minim kebocoran.

Kedua, memastikan prioritas alokasi anggaran tersebut untuk mendorong usaha-usaha pertanian dan perikanan, guna menjamin ketersediaan pangan domestik selama periode krisis.

Ketiga, Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga perlu membuat terobosan untuk meningkatkan perputaran uang dan meminimalisasi dampak krisis di pedesaan. Misalnya dengan mendorong penyaluran kredit secara masif kepada komoditas bersiklus pendek seperti padi, jagung, kedelai, peternakan unggas, ikan tangkapan, dan lain sebagainya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini

The Best Mobile Banking

1 of 2
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement