REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr. Murniati Mukhlisin, M.Acc (Konsultan, Sakinah Finance, Colchester - UK)
Ketika menginjakkan kaki di lapangan terbang King Abdul Aziz, Jeddah, kemarin, saya teringat isi obrolan ringan di Colchester pekan lalu. Obrolan itu disampaikan oleh Dr Muhammad Syafii Antonio, pakar ekonomi syariah dari Tanah Air yang juga ketua STEI Tazkia, Bogor.
Menurut beliau, ada kesalahpahaman di kalangan umat Islam tentang apa yang dimaksud dengan fardhu kifayah. Banyak yang berpikir fardhu kidayah adalah hanya memandikan dan menyelenggarakan shalat jenazah.
Padahal, definisi fardhu kifayah sendiri adalah suatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh umat secara bersama-sama. Jika dilakukan oleh satu orang saja dari umat, kewajiban itu gugur dari seluruh Muslim yang lain. Namun, jika tidak ada satu pun yang mengerjakannya, kewajiban tersebut menjadi tanggungan semuanya.
Ayo kita pahami lagi makna fardhu kifayah
Dari definisi yang ada, ternyata makna fardhu kifayah sangat luas. Fardhu kifayah berlaku di berbagai aspek kehidupan manusia, seperti yang telah dicontohkan dalam peradaban yang dibangun Rasulullah SAW di Madinah.
Masjid Nabawi yang dibangun oleh Rasul bukan hanya sebagai pusat ibadah. Ketika itu, masjid tersebut digunakan sebagai pusat politik, pemerintahan, pertahanan, penyebaran ilmu pengetahuan, bantuan, perlindungan, dan kegiatan dakwah. Lengkap sudah bahwa bukan hanya hubungan dengan Allah (habluminnallah), tetapi juga hubungan antarmanusia (habluminannas) menjadi sumber-sumber kekuatan umat saat itu.
Semangat itu seharusnya kita bawa saat ini. Sepatutnya, umat Islam itu hadir untuk memberikan solusi terhadap berbagai permasalahan yang ada, bukan umat yang selalu bergantung kepada hasil kerja kaum lain. Dari sisi ekonomi, misalnya, posisi kita yang mayoritas ternyata hanya menjadi konsumen. Rasanya, sudah saatnya kita mulai beralih menjadi produsen.