Senin 04 Jul 2016 06:03 WIB

Lumbung Desa, Ide Besar dari Sudut Kecil Dunia

Aktivitas 'Lumbung Desa' kerja sama antara Sinergi Foundation dengan masyarakat Kampung Cibaud.
Foto: Sinergi Foundation
Aktivitas 'Lumbung Desa' kerja sama antara Sinergi Foundation dengan masyarakat Kampung Cibaud.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ima Rachmalia (CEO Sinergi Foundation)

Tak ada yang bisa menebak sejak kapan lumbung telah dimanfaatkan oleh manusia. Diyakini, sejak zaman purba, manusia telah menyimpan biji-bijian dan hasil pertanian lainnya dalam jumlah besar di sebuah tempat khusus. Berdasarkan penemuan arkeologi, lumbung tertua ditemukan berusia 9.500 SM di Lembah Sungai Jordan.

Kita pun telah mengenal catatan tentang lumbung dalam kisah Nabi Yusuf, dimana untuk menyelamatkan negeri dari musim paceklik, Nabi Yusuf menganjurkan pemimpin setempat untuk membuat sistem penyimpanan pada masa panen tengah berlimpah. Alhasil, saat paceklik datang, negeri mereka pun tidak mendapat kesulitan dalam pasokan makanan bagi rakyatnya.

Belajar dari kisah Nabi Yusuf, lumbung berfungsi mencegah kerawanan pangan. Tak selamanya musim itu bersahabat dengan petani, hama tak menyerang hingga menghancurkan tanaman, atau bencana tak melanda. Lumbung mempersiapkan kita untuk menghadapi segala tantangan dalam pangan.

Bila lumbung dalam perjalanan sejarah telah membuktikan manfaatnya, terutama bagi ketahanan pangan di tengah masyarakat kita, mengapa kini lumbung seperti tak lagi ada?

Agar konsep lumbung tidak mati, Sinergi Foundation memunculkan gagasan program Lumbung Desa (LD). Sebuah gagasan yang diinisiasi Sinergi Foundation sebagai upaya mengembalikan desa kepada khittahnya: Desa Berdaulat yang dibangun petani bermartabat, sebagai sumber pangan dan kearifan lokal negeri tercinta, Indonesia.

Desa Berdaulat Bagi negara, menyejahterakan rakyat sesungguhnya wajib hukumnya. Inilah amanah utama yang menjadi sebab mengapa dibutuhkan adanya negara. Di sektor pangan, realitas hari  ini, angka impor masih demikian besar. Begitulah adanya, ketika pengelolaan sumber-sumber pangan semisal: sawah, kebun sayur mayor, dan lainnya tak lagi menjanjikan. Perlahan desa pun ditinggal pergi warga terbaiknya. Kemiskinan terus mewabah, aset desa menghilang, lahan yang ada dibiarkan terlantar,  pun keterampilan warganya yang cenderung tumpul, tak terasah.

Tentu bukan pekerjaan sehari dua. Diperlukan kerja kolektif, sinergi dari seluruh elemen terkait  untuk mewujudkannya. Berpikir lantas beraksi. Meningkatkan daya saing desa, dengan langkah-langkah akseleratif, tanpa menanggalkan kearifan lokal yang sudah menjadi bagian dari nafas kehidupan.

Lumbung desa. Kultur sederhana, tapi begitu dalam maknanya. Bagaimana masyarakat desa yang kerap disebut sebagai masyarakat terbelakang, justru berpikir jauh ke depan. Kesadaran untuk mengelola karunia Allahu Taala, berupa cadangan hasil panen agar bisa bertahan hingga musim berikutnya, bahkan dapat digunakan membantu sesama yang membutuhkan, apakah patut disebut pandangan terbelakang?

Lumbung juga melambangkan persatuan dan kesetiakawanan. Ada kesadaran dalam bermasyarakat yang membuat mereka rela menyumbangkan sebagian hasil kerja di lahan untuk disimpan di lumbung desa.  Nantinya, tak hanya digunakan untuk makan mereka sendiri, namun penyimpanan tersebut juga digunakan untuk membantu warga lain yang tengah kesulitan atau kekurangan pangan. Disinilah sikap bahu-membahu dan tolong menolong pun tercermin dalam sikap sehari-hari.

Di balik segala keindahan budaya yang juga sarat nilai manfaat, lumbung juga membuat petani memiliki kekuatan. Kekuatan untuk menawar harga, dimana mereka dapat memilih untuk menjual atau menyimpan hasil kerja mereka berdasarkan harga yang berlaku. Di lumbung, mereka juga dapat mempersiapkan bibit untuk musim tanam berikutnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement