Oleh: Selamat Ginting*
Truk militer Reo berwarna hijau, dengan posisi strir sebelah kiri, berhenti di depan rumah, Komplek TNI AD Berland, Jalan Kesatrian IX, Kelurahan Kebon Manggis, Kecamatan Matraman, Jakarta Timur. Kendaraan angkut militer beroda 10 itu, memang setiap pagi dan sore hari berhenti di depan rumah. Itulah kendaraan bekas pakai tentara Amerika Serikat dalam perang Vietnam yang menjadi kendaraan jemputan ayahku.
Dari belakang truk turun seorang sersan dan mengetuk pintu rumah. Dengan sikap tegap memberi hormat dan menyerahkan surat perintah.
“Perintah konsinyir, Letnan!” kata sang sersan kepada ayahku, perwira seksi operasi Yonzikon 13, Resimen Zeni 2. Kesatuan bantuan tempur Angkatan Darat yang bermarkas di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
“Tunggu saya berpakaian lima menit,” jawab ayahku, seorang perwira berpangkat letnan satu Korps Zeni Angkatan Darat.
Sekejap ayah pun berpakaian lapangan tempur hijau, lengkap dengan pistol FN di pinggang kanan dan pisau belati di pinggang sebelah kiri. Termasuk helm baja menutupi kepalanya. Ransel yang memang sudah diletakkan di dekat pintu, langsung digendongnya. Menyalami dan mencium pipi ibu dan kami anak-anaknya, satu per satu. Kemudian setengah berlari naik truk berpenggerak 6x6, persis di samping sopir.
Sebagai perwira seksi operasi batalyon, tentu saja ayahku punya peran untuk menentukan langkah operasi untuk menggerakkan pasukannya di lapangan. Di bagian belakang, sudah terisi penuh sejumlah bintara dan tamtama batalyon lengkap dengan pakaian tempur lapangan, termasuk senjata laras panjang jenis SP.
Saat itu saya yang duduk di kelas 1 sekolah dasar, tidak tahu apa-apa. Tidak tahu apa yang dimaksud dengan istilah konsinyir. Tidak tahu apa yang terjadi pada pertengahan Januari 1974 itu (!5 Januari 1974). Juga belum mengetahui kalau Pasar Senen, Jakarta Pusat terbakar.
Konsinyir adalah istilah militer dimana para prajurit dipersiapkan untuk menghadapi segala kemungkinan yang terburuk. Apabila keadaan ini diberlakukan, acap kali para prajurit sama sekali tidak diperkenankan keluar kesatriaan atau kompleks. Tidak diizinkan memberitahukan kepada keluarga dan dilarang berkomunikasi dengan keluarga.
Karena itu jangan heran jika istri atau anak-anak tentara tidak mengetahui penugasan yang sedang dijalani oleh suami maupun sang bapak. Sudah jadi milik negara, bukan lagi milik keluarga.
Jangan ditannya, kapan pulangnya. Tunggu saja kabar dari utusan batalyon, apakah mengantarkan kalung identitas dan bendera merah putih atau foto-fotonya saja. Itu artinya gugur di medan tugas. Jenazahnya di mana? Itu urusan negara! Titik.