Rabu 22 Feb 2017 15:22 WIB

Pancasila Bukan Pajangan!

Red: M.Iqbal
Ahmad Soleh, Ketua IMM Jakarta Timur, Alumnus FKIP UHAMKA Jakarta
Foto: Dokpri
Ahmad Soleh, Ketua IMM Jakarta Timur, Alumnus FKIP UHAMKA Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Ahmad Sholeh *)

71 tahun sudah, republik ini memproklamasikan kemerdekaan. Usia itu tentu sudah tak lagi muda, bahkan seharusnya sudah matang. Dengung kata 'merdeka' itu masih sering terngiang manakala 17 Agustus dan bendera merah putih dikibarkan. Namun, ada ironi yang masih terserak dan mengganjal bagi kata ‘merdeka’ itu untuk memiliki makna yang seutuhnya. 

Harapan terhadap wujud kemerdekaan itu sebenarnya telah tersemat jelas dalam poin-poin Pancasila. Yang menurut Bung Karno, apabila Pancasila diperas menjadi satu poin, maka poin itu adalah gotong royong. Frasa yang memiliki makna kebersamaan, semangat keberagaman, semangat persatuan, semangat tolong-menolong, dan semangat kerja sama. 

Namun kenyataannya, Pancasila hanyalah menjadi monumen saksi harapan rakyat yang kian tersandera. Tersandera oleh tingkah polah para elite yang semakin tak karu-karuan mengurus negeri ini. Pancasila hanya menjadi pajangan yang tertempel di dinding-dinding museum, ruang-ruang kelas, dan ruang-ruang kantor. Tanpa ada pengamalan berarti.

Entah bagaimana dan kapan makna Pancasila itu akan benar-benar menjadi sebuah kenyataan. Mantan ketua umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif pernah mengatakan, Pancasila belum sepenuhnya dijalankan, bahkan ‘hanya diagungkan dalam ucapan, tapi dikhianati di dalam perbuatan’.

Apalagi sila kelima yang masih menggantung sangat tinggi di langit; masih belum diturunkan ke bumi Indonesia. Masih jauh dari harapan rakyat, mengenai bagaimana seharusnya keadilan sosial bisa terwujud. Menurut Buya Syafii, untuk mewujudkan sila kelima yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, harus dengan mendekatkan jarak antara yang punya dan tidak punya. 

“Permasalahan ini harus dijembatani. Dalam penerapan sila kelima ini kalau kita lihat masih menggantung di awan. Jika dibiarkan akan mengganggu kebinekaan,” kata Buya Syafii dalam acara seminar nasional ICMI DIY, Sabtu (18/2), di UMY seperti dilansir laman resmi PP Muhammadiyah.

Tugas semua

Sebagaimana petuahnya bahwa masa depan negara ini, termasuk dalam mengamalkan Pancasila, adalah tugasnya semua elemen bangsa. Bukan hanya tugas pemerintah, politikus, ataupun pejabat. Hukum pula harus tegak tanpa pandang bulu. Sebagai ciri negara hukum, yang taat dan hormat pada asas hukum yang terlepas dari segala kepentingan. 

Ini tentunya menjadi refleksi bagi kita. Apalagi melihat kondisi saat ini, bangsa kita didera kisruh politik yang tak berkesudahan, kasus hukum yang pandang bulu, tabrak-menabrak undang-undang, kekuasaan yang tersandera kepentingan, dan masih banyak lagi. Ditambah lagi dengan munculnya jargon-jargon kebinekaan sambil terus menghantam perbedaan yang ada, berbicara anti ini-anti itu sambil terus melakukan ini dan itu.

Saya teringat ketika Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir yang beberapa waktu lalu dalam acara HUT ke-9 tvOne bertema “Merekatkan Bangsa” mengungkapkan bahwa bangsa ini berada dalam dalam kondisi memprihatinkan. Bahkan Pak Haedar sampai mengutip Alquran surah al-Isra ayat 16 yang menggambarkan kondisi suatu bangsa yang pemimpinnya bertindak ‘sekehendaknya’. Hal ini menandakan Indonesia tidak dalam keadaan baik-baik saja. Dia pun mengingatkan kepada para pemegang kekuasaan di negeri ini agar tidak ugal-ugalan.

Dia juga mengatakan bahwa untuk melihat kondisi bangsa saat ini kita perlu bertanya kepada hati nurani kita sendiri. Kita perlu jujur. Tidak ada kepura-puraan. Satu pesan yang dia sampaikan kepada kita bahwa sebenarnya kita masih punya semangat yang sama untuk bangsa ini, semangat kebersamaan yang erat, meski sesekali mengalami gesekan. Kita perlu suatu ketulusan, untuk sama-sama membangun masa depan Indonesia. Pak Haedar pun mengungkapkan, saat ini Indonesia berada dalam keprihatinan, rakyat berada dalam keprihatinan, dan di ujung pemaparannya itu dia menitikkan air mata.

Sungguh, bukanlah sebuah kepura-puraan dan pencitraan yang bisa membangun Indonesia ini. Melainkan sebuah ketulusan, kejujuran, dan kebersamaan untuk berpihak kepada kepentingan rakyat, bukan penguasa, pemodal, atau makhluk apa pun jenisnya. Waba’du, apakah sekali lagi Pancasila hanya akan menjadi pajangan di dinding-dinding museum dan ruang kantor?

*Ketua IMM Jakarta Timur

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement