REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Dr Hj Netty Prasetiyani Heryawan *)
Sepanjang 2010-2016, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Jabar telah menangani 1.557 kasus kekerasan dan perdagangan orang (human trafficking). Kasus itu berhasil terungkap dan tertangani berkat kerjasama banyak pihak, mulai dari laporan warga, kesigapan kepolisian, kecepatan informasi sejumlah media termasuk media sosial (medsos), dan advokasi lembaga pengada layanan, yang salah satunya adalah P2TP2A Provinsi Jabar.
Besar kemungkinan masih banyak kasus yang tidak terungkap ke permukaan karena minimnya pengetahuan masyarakat tentang kekerasan dan lembaga yang tepat menerima laporan serta memberikan pelayanan. Tentu saja secara kasat mata, kita melihat bahwa korban kekerasan kebanyakan adalah perempuan dan anak.
Faktor penyebab kekerasan itu sebenarnya dapat digambarkan seperti sebatang pohon. Akar dari pohon kekerasan itu adalah kemiskinan. Saat ini, selain materi atau finansial, kemiskinan pengetahuan, pendidikan dan kesalahan dalam memahami nilai agama, sebagai sendi kehidupan, juga turut andil dalam mata rantai kekerasan.
Bahkan ada sebuah statement yang sangat dikenal masyarakat akademis, ‘the poverty has a woman face’, jika kemiskinan memiliki wajah, pasti wajahnya adalah (kaum) perempuan. Dari akar ‘pohon’ itulah berpotensi melahirkan faktor pendukungnya melalui child marriage, yaitu pernikahan yang dilakukan pada usia yang belum atau tidak aman secara reproduktif. Berikutnya, rumah tangga atau keluarga yang tidak memiliki visi membangun keluarga dengan sangat mudah mengalami disharmoni.
Dan secara berturut-turut disharmoni dan konflik orang tua akan berpengaruh pada pengasuhan dan perlindungan anak di keluarga tersebut. Situasi inilah yang disebut sebagai kerentanan pada anak. Akhirnya, ranting dan daun kekerasan muncul sebagai faktor pemicu, seperti pergaulan bebas, kehamilan tidak diinginkan, narkoba, kecanduan pornografi, dan HIV/AIDS.
Yang paling memprihatinkan, kasus yang menimpa anak-anak kita seperti penyakit yang menular. Berbagai kasus kekerasan marak terjadi dari satu tempat ke tempat yang lain meliputi beragam usia, tingkat pendidikan, dan sosial ekonomi keluarga.
Jika melihat ‘pohon kekerasan’ tersebut, maka sejatinya akar permasalahan sekaligus solusinya ada dan melekat pada keluarga. Keluarga adalah rumah fisiologis sekaligus psikologis bagi anak-anak dan seluruh anggota keluarga di dalamnya. Keluarga seharusnya memberikan rasa aman dan nyaman.
Keluarga adalah tempat paling membahagiakan karena anak dan anggota keluarga diterima secara wajar dan apa adanya dengan seluruh kelebihan dan kekurangannya. Di tengah keluarga, anak belajar berinteraksi dengan lingkungannya dan sekaligus menyiapkan diri sebagai agen perubahan di kemudian hari. Pengasuhan dan perlindungan anak dimulai dari keluarga. Hanya keluarga yang kokoh dan memiliki ‘imunitas’ tinggi yang mampu melindungi dan mengembangkan setiap potensi anak.
Era globalisasi yang memanjakan anak dan kita semua dengan bermacam produk teknologi, tanpa sadar mengambilalih pengasuhan yang seharusnya menjadi tanggung jawab kita. Anak akrab dengan lagu yang judulnya tidak edukatif, tayangan yang berbau kekerasan, dan gaya hidup yang hedonis.
Hal ini sebetulnya tidak perlu terjadi jika orang tua memiliki basis pengetahuan dan kemampuan pengasuhan (parenting skills) yang memadai. Orang tua seharusnya menjadi figur yang memiliki kesadaran penuh dalam menerima anak sebagai titipan dan bukan beban, sekaligus amanah dan bukan masalah. Orang tua yang sadar pasti mau belajar dan bersabar dalam menghadapi tumbuh kembang anak dengan segala tantangannya.
Tidak hanya pada keluarga, tanggung jawab pengasuhan dan perlindungan anak juga menjadi bagian tanggung jawab masyarakat dalam bentuk social awareness. Anak lahir di tengah keluarga namun dibesarkan oleh lingkungan sekitar. Masyarakat diharapkan mampu melakukan deteksi dini pada saat anak mengalami masalah dan ancaman kekerasan baik di tengah keluarga, sekolah, maupun di lingkungan.
Oleh karena itu, P2TP2A dan Pemprov Jabar saling bekerjasama menangkis potensi persoalan sosial dan keluarga. Sejak tahun 2016, Gubernur Jabar Ahmad Heryawan mencanangkan Gerakan Jabar Tolak Kekerasan dengan sejumlah kegiatan yang digawangi oleh perangkat daerah. Kegiatan turunan seperti pembacaan Ikrar Tolak Kekerasan oleh para siswa di setiap sekolah pun dilakukan pada upacara bendera setiap Hari Senin.
Gerakan Jabar Tolak Kekerasan menjadi komitmen seluruh pemangku kepentingan pada Peringatan Hari Keluarga Nasional XXIV dan Hari Anak Nasional Tingkat Provinsi Jabar tahun 2017 di Sport Arcamanik Jalan Pacuan Kuda, Kota Bandung yang dihadiri oleh bupati dan wali kota serta pejabat struktural dan fungsional yang terkait di seluruh Jabar.
Program Jabar Tolak kekerasan, di antaranya meliputi pembentukan satgas, formulasi program di perangkat daerah, pembentukan motivator ketahanan keluarga (motekar), inisiasi Sekolah Ramah Anak berbasis bebas kekerasan, Pengasuhan Perlindungan Anak Berbasis Masyarakat (PPABM), dan pembentukan buku saku selamatkan anak kita. Program Sekolah Ramah Anak (SRA) berbasis bebas kekerasan ingin mengubah wajah institusi pendidikan kita sebagai Rumah Kedua bagi anak selama mengikuti proses belajar mengajar.
Terselip harapan pada peringatan Hari Kemerdekaan RI yang ke-72 ini, P2TP2A bersama Pemerintah Provinsi Jabar bertekad mewujudkan Jawa Barat menuju Provinsi Layak Anak. Tanda-tanda ke arah sana sudah mulai terlihat. Salah satu indikasinya adalah dinobatkannya 15 kabupaten dan kota di Provinsi Jabar sebagai Kota menuju Layak Anak dengan berbagai kategori. Penobatan itu diberikan pada peringatan Hari Anak Nasionak (HAN) 2017 di Provinsi Riau, belum lama ini.
Dirgahayu Republik Indonesia. Semoga kemerdekaan sejati dapat dirasakan oleh anak-anak Indonesia dengan terlindunginya mereka dari berbagai bentuk kekerasan. Majulah Indonesiaku.
*)Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Jabar, Ketua TP PKK Provinsi Jabar