REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MS
Hari Ahad sekarang tanggal 3 September 2017, bertepatan dengan tanggal 12 Dzulhijjah 1438 H (hari tasyriq kedua) masih berada dalam susana Idul Qurban/Idul Adha, setelah kaum Muslimin seluruh dunia melaksanakan shalat Idul Adha 1438 H, yang Alhamdulillah dilaksanakan secara serempak dan bersama-sama, yang kemudian diteruskan dengan penyembelihan hewan qurban, yang Insya Allah berlangsung sampai dengan hari esok, Senin 4 September 2017 M/13 Dzulhijjah 1438 H. Mudah-mudahan segala amal ibadah kita diterima Allah SWT.
Sementara itu saudara-saudara kita, kaum Muslimin-kaum Muslimat, yang datang dari seluruh penjuru dunia yang sedang melaksanakan ibadah haji pada saat ini masih berada di Mina untuk melaksanakan mabit atau menginap selama kurang lebih tiga hari tiga malam, yang pada pagi dan siang harinya melaksanakan Ramyul Jamarat (melempar jumrah, jumratul ula, jumratul wushta, dan jumratul aqobah). Dan setelah pelaksanaan ibadah ini selesai, sebagian jamaah terus pulang ke tanah air masing-masing dan sebagian lagi pergi ke Kota Madinah untuk beribadah di Masjid Nabawi, berziarah ke makam Rasulullah SAW dan makam para sahabat nabi lainnya, baik yang berdampingan dengan beliau (Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab) maupun yang ada di pemakaman Baqi’ disamping Masjid Nabawi.
Kita berdoa kepada Allah SWT, mudah-mudahan semua jamaah haji diterima amal ibadahnya, dimudahkan segala urusannya, dan kembali ke Negara masing-masing dengan membawa oleh-oleh perubahan perilaku yaitu haji mabrur; ayyakuuna ahsana min qabluhu wa ayyakuuna qudwata ahli baladihi (perilakunya menjadi lebih baik dari sebelumnya dan menjadi panutan masyarakat sekitarnya).
Salah satu hal yang penting dan mendasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang harus menjadi pekerjaan rumah (PR) para jamaah haji dan kita semua, adalah terwujudnya akhlaqul karimah dalam hidup dan kehidupan keseharian kita, yang pilar utamanya terwujud dalam lima hal. Ibn Mas’ud ra menyatakan bahwa kehidupan dunia ini akan berjalan baik, menghasilkan kebaikan dan kesejahteraan bagi masyarakat, ketika ditopang oleh lima kelompok (pilar) orang yang memiliki akhlaqul karimah:
“Tegaknya urusan dunia itu (karena ditopang) oeh lima pilar utama yaitu: Ilmunya para ulama, adilnya para penguasa, kepemurahannya orang kaya, doanya orang-orang fakir, dan jujurnya para pegawai.” (HR. Ibn Mas’ud).
Pertama, Ilmunya para ulama. Para ulama adalah orang-orang yang mendapatkan anugerah dan karunia dari Allah SWT berupa pemahaman terhadap ajaran Islam yang sangat mendalam, yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Mereka tempat masyarakat bertanya tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupannya.
Di samping pengetahuannya yang mendalam, para ulama pun harus memberikan contoh dan suri tauladan dalam kehidupan kesehariannya. Sehingga masyarakat bukan hanya melihat ilmunya, akan tetapi juga melihat dan menyaksikan perilakunya yang sangat indah, yang uswah hasanah. Para ulama sesungguhnya adalah kelompok orang yang hanya takut kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Fathir [35] ayat 28:“…Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fathir [35]: 28).
Ketika para ulama tidak berperan sebagai uswah hasanah bahkan akhlaknya lebih buruk dari masyarakat biasa, maka akan menjadi musibah yang sangat besar bagi masyarakat dan bangsa secara luas. Rasulullah SAW mengingatkan dalam sebuah hadits riwayat Imam ad-Daelamiy dari Ibn Abbas: ”Penyakit yang sangat berbahaya itu ada tiga yaitu: orang yang mengerti agama tetapi dia jahat, penguasa yang dzalim, dan orang suka berijtihad/berfatwa, tetapi tidak memiliki ilmu pengetahuan.” (HR. Ad-Daelamy dari Ibn Abbas).
Termasuk dalam kategori ulama ini adalah orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang mendalam yang disebut dengan kaum cendekiawan atau kaum intelektual. Mereka pun juga memiliki tanggungjawab yang besar terhadap masyarakat dan bangsa sejalan dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Kaum intelektual harus berpihak pada keadilan, kejujuran, dan kebenaran. Ketika hal ini tidak terjadi, maka akan terjadi berbagai macam kerusakan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Pilar yang kedua adalah penguasa yang adil. Penguasa adalah orang atau kelompok orang yang mendapatkan amanah dari Allah SWT untuk mengurus masyarakat, agar masyarakat hidupnya sejahtera lahir-bathin; terpenuhi kebutuhan pokok hidupnya, pekerjaannya, pendidikannya, tempat tinggalnya, dan kebutuhan yang lainnya. Pemimpin yang adil dan jujur adalah termasuk katagori orang-orang yang dimuliakan Allah SWT dan kelompok pertama yang akan mendapatkan perlindungan dari Allah di alam Mahsyar nanti pada saat tidak ada perlindungan selain perlindungan-Nya (sebagaimana dinyatakan dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Sebaliknya jika pemimpin atau penguasa tidak adil; tidak melaksanakan amanah kepemimpinannya dengan baik dan bertanggungjawab, maka termasuk katagori orang yang sangat dimurkai oleh Allah SWT. Bahkan ketidakadilan dalam penegakan hukum misalnya, akan menyebabkan hancurnya tatanan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Dalam sebuah hadits riwayat imam Bukhari.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya kerusakan umat-umat terdahulu, adalah dikarenakan ketika orang-orang yang mulia (penguasa dan banyak uang) melakukan pencurian, maka tidak menegakkan hukum padanya. Jika yang melakukan pencurian adalah orang-orang yang lemah (tidak memiliki kekuasan dan tidak berharta), maka mereka menegakkan hukum padanya. Demi Allah, yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, andaikan Fathimah anak Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya (dengan tanganku sendiri).” (HR. Bukhari).
Kehadiran dan keberadaan ulama yang khosyah dan umara yang adil, merupakan sebuah keniscayaan dan keharusan kalau masyarakat ingin baik dan sejahtera hidupnya. Imam Ghazali mengatakan: “Dua kelompok manusia, kalau beres keduanya, maka akan beres semua manusia. Dan jika rusak keduanya, maka akan rusak semua manusia, yaitu: Ulama dan Umara.”
Pilar yang ketiga adalah kepemurahan orang-orang kaya. Orang-orang yang kaya adalah kelompok orang yang mendapatkan anugerah dan karunia dari Allah SWT dengan sebab pekerjaan dan kegiatan usahanya yang menghasilkan kekayaan yang banyak. Hal yang penting dalam harta kekayaan ini adalah bagaimana cara mendapatkan dan bagaimana cara memanfaatkannya. Jika cara mendapatkannya dengan baik dan benar serta halal, sesuai dengan aturan agama dan aturan berkehidupan berbangsa dan bernegara serta dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, seperti untuk orang-orang miskin, anak-anak yatim, kaum dhuafa, dan kelompok lain yang membutuhkannya, dalam bentuk zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf, maka orang kaya yang memiliki akhlaqul karimah ini akan menjadi pilar yang menentukan dalam pembangunan masyarakat dan bangsa.
Sifat kepemurahan mereka akan menyebabkan kedekatan dengan Allah, dengan sesama manusia, dan kelak menjadi ahli Syurga serta dijauhkan dari siksa neraka. Sebaliknya orang yang kikir dan bakhil, akan jauh dengan Allah, jauh dengan manusia, jauh dengan Syurga, tetapi dekat dengan neraka (seperti dinyatakan oleh Rasulullah SAW dalam hadits riwayat Tirmidzi).
Sebagian Sahabat Nabi RA adalah orang yang memiliki kekayaan yang banyak, tapi kekayaannya itu tidak tampak pada kehidupannya yang mewah, kehidupan kesehariannya sama dengan sahabat yang lainnya, tetapi kelihatan kayanya ketika berinfaq dan bershadaqah, yang kadangkala lebih dari separuh hartanya, seperti yang dilakukan oleh Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, Abdurrahman bin ‘Auf, dan lain sebagainya. Mereka tidak segan-segan untuk berinfaq yang banyak demi kepentingan agama, masyarakat, dan bangsanya. Dengan sebab banyaknya infaq yang dikeluarkan turun firman-Nya dalam QS. Ali Imran [3] ayat 92.
Tentu pada saat sekarang, kita sangat membutuhkan kehadiran para hartawan sekaligus dermawan atau orang kaya tetapi juga yang bertaqwa kepada Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadis: ”Sebaik-baiknya harta yang baik, berada pada tangan orang-orang yang baik.”
Pilar yang keempat adalah doanya orang-orang fakir, yaitu orang-orang yang secara material mereka mengalami kekurangan, tetapi secara spiritual dan rohaniyah mereka adalah orang-orang yang kaya, yang tetap melakukan pengabdian kepada Allah dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang merusak. Mereka adalah orang-orang yang bersabar dalam menghadapi kesulitan hidup yang terjadi, tetap bekerja keras, ikhtiar yang sungguh-sungguh mencari rizki yang halal, dan terus berdoa serta memohon kepada Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa tertidur karena kelelahan dalam mencari rizki yang halal, maka ia tertidur dalam keadaan mendapatkan ampunan dari Allah SWT.” (HR. Ibn ‘Asakir).
Pilar yang kelima adalah para pegawai yang amanah dan jujur serta bertanggunjawab dalam melaksanakan tugasnya. Keamanahan dan kejujuran dari para pegawai ini akan mengundang rahmat dan pertolongan dari Allah SWT, sekaligus akan menyebabkan kesejahteraan masyarakat dan bangsa. Rasulullah SAW bersabda: “Rasulullah Saw. bersabda: “Sifat amanah dan jujur itu akan menarik rizki, sedangkan khianat itu akan menarik (mengakibatkan) kefakiran.” (HR. Dailamiy).
Sebaliknya jika berkhianat di dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, para pegawai yang mendapatkan predikat sebagai hamba Allah dan abdi negara, maka akan mendapatkan kebencian dan kemurkaan dari Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya dalam dalam QS. Al-Anfal [8] ayat 27.
Untuk memiliki lima hal yang utama tersebut di atas, diperlukan semangat berkorban dari kita semua. Ketika kita menjadi ulama harus memiliki semangat berkorban yang tinggi untuk memiliki perilaku yang uswah hasanah. Ketika kita menjadi penguasa harus memiliki semangat berkorban untuk menjauhkan diri dari sifat rakus dan keinginan memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, serta memiliki keinginan kuat untuk terus berlaku adil.
Ketika kita menjadi orang kaya harus memiliki jiwa berkorban, memberikan sebagian harta yang dimilikinya dalam bentuk zakat, infaq, shadaq, maupun wakaf untuk kepentingan agama dan kepentingan masyarakat dan bangsa. Dan ketika kita menjadi orang fakir, harus memiliki semangat berkorban untuk tidak frustasi dan putus asa di dalam menjalani kehidupan, tetapi tetap tabah dan beribadah kepada Allah SWT. Dan ketika kita menjadi pegawai, harus memiliki semangat berkorban dalam mengendalikan diri dari perbuatan-perbuatan khianat, yang akan merusak tatanan kehidupan dirinya, dan juga tatanan kehidupan masyarakat dan bangsanya.
Semoga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini, diisi oleh para alim ulama yang shalih, para penguasa yang adil, para orang kaya yang pemurah, para fakir yang sabar dan berdo’a, dan para pegawai yang amanah dan jujur. Sehingga akan tercapai negeri yang aman dan tenteram, masyarakatnya makmur dan bahagia dalam naungan dari Allah SWT. Baldatun thayyibatun warabbun ghafur. Amin.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab