Kamis 05 Oct 2017 11:39 WIB

Stephen Paddock, Teror tanpa Label Teroris?

Bunga diletakkan di dekat lokasi penembakan massal di festival musik dekat Mandalay Bay Resort and Casino, di Las Vegas, AS, (2/10).
Foto: AP
Bunga diletakkan di dekat lokasi penembakan massal di festival musik dekat Mandalay Bay Resort and Casino, di Las Vegas, AS, (2/10).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mohammad Affan, Peminat Studi Terorisme dan Timur Tengah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tak ada yang menyangkal penembakan brutal yang dilakukan Stephen Paddock, Ahad (01/10), di Las Vegas, Negara Bagian Nevada, Amerika Serikat (AS), adalah aksi teror. Peristiwa brutal yang menewaskan 59 orang dan melukai lebih dari 500 warga sipil tak berdosa itu disebut sebagai insiden paling mematikan dalam sejarah AS.

Tapi ada yang janggal dalam tragedi itu. Tak satu pun media populer di AS, begitu juga pernyataan resmi Pemerintahan Donald Trump, yang mau menyebut Stephen Paddock sebagai teroris. Presiden Trump menyebutnya sebagai “setan sejati“ (pure evil) dan menghindari kata “terorisme.”

Kepolisian setempat belum menemukan motif aksi yang dilakukan Paddock. Publik AS dibuat penasaran sehingga kata kunci “Stephen Paddock motive” berada di peringkat teratas pencarian Google. Yang pasti, rekam jejak pelaku menunjukkan ia sama sekali tidak terkait dengan sayap politik tertentu, aliran keagamaan, dan kelompok militan mana pun.

Stephen Paddock adalah pria ras kulit putih berusia 64 tahun, berlatar belakang agama non-Muslim, tanpa catatan kriminal selain pelanggaran lalu lintas. Ia seorang miliarder yang sedang menikmati masa pensiunnya. Ia pernah menjadi manajer kompleks apartemen elite Central Park, pernah bekerja sebagai akuntan, dan memiliki investasi real estate.

Pria ini diketahui memang suka berjudi, bermain video poker, berlayar dengan kapal pesiar. Tidak ada yang janggal dalam kesehariannya. Tidak mungkin dalam waktu singkat ia, misalnya, tercekoki ideologi ekstremisme. Tidak ada indikasi pria ini mampu bersembunyi di Lantai 32 Mandalay Bay Hotel and Casino dan menembaki kerumunan 22 ribu penonton festival musik Country di dekatnya.

Ketiadaan motif politik, ideologis, dan religius inilah yang membuat Stephen Paddock tidak disemati label “teroris.” Dalam studi terorisme terbaru seperti yang dilakukan David C Rapoport, Profesor Emiritus Ilmu Politik Universitas California, dalam Terrorism: Critical Concepts in Political Science, diklasifikasikan empat gelombang utama terorisme sejak 1880-an, yaitu: kelompok anarkis; aktivis antikolonial; kelompok sayap kiri; dan orang fanatik agama, termasuk non-Muslim.

Tak satu pun dari empat kategori itu terkait dengan aksi Paddock. Padahal, aksi itu tidak hanya meneror warga Las Vegas, tetapi juga seluruh rakyat AS, bahkan dunia. Di sinilah kita patut menggugat kembali definisi terorisme. Haruskan definisi terorisme masih terpaku pada kategori tersebut?

Pasalnya, dalam perdebatan politik di sebuah negara yang terpolarisasi, seperti AS, kata “terorisme” merupakan senjata verbal yang dipegang secara bebas terutama saat pelakunya beragama Islam. Label “terorisme” sangat merendahkan dan membawa begitu banyak konsekuensi di dalamnya. Label “teroris” di AS tak ubahnya cap “komunis” di Indonesia yang menyebabkan seseorang dapatkehilangan hak-hak dasarnya sebagai manusia.

Setiap terjadi aksi terorisme, minoritas Muslim di AS menjadi komunitas pertama yang diliputi kecemasan. Muslim Amerika berdoa agar pelakunya bukan seorang Muslim, atau membawa simbol-simbol Islam. Sebab, hal demikian makin meningkatkan stereotipisasi Islam dengan terorisme.

Tragedi Las Vegas mestinya menyadarkan dunia untuk bersikap 'fair.' Tak sepatutnya Islam terus dituduh sebagai agama teroris. Setiap kekerasan yang menimbulkan teror luas, baik dilakukan atas motif ideologis tertentu maupun tidak, berlatar belakang apa pun, adalah bentuk terorisme yang pelakunya pantas disebut “Teroris.” Setiap aksi terorisme adalah musuh bersama yang harus dilawan bersama.

Terorisme tidak dapat dilekatkan pada identitas atau ideologi tertentu. Semua manusia berpotensi melakukan kejahatan dan teror. Pada saat melakukan teror, maka pantas ia disebut teroris. Kesalahan berpikir manusia yang selalu mencari kesalahan di luar dirinya inilah yang disinyalir Erich Fromm dalam The Anatomy of Human Destructiveness. Menurut Fromm, sumber kejahatan itu ada dalam diri manusia yang bersifat orisinal dan instingtual.

Para filsuf seperti Nietzsche dalam Beyond Good and Evil juga meyakini manusia adalah makhluk yang kontradiktif dan kompleks. Manusia mampu melakukan kejahatan-kejahatan justru karena ia juga mampu hidup dalam keutamaan. Keutamaan akan menjadi tak bermakna seandainya tidak memiliki alternatif yang berlawanan, yakni kejahatan.

Alquran juga dengan tegas menyatakan dalam diri manusia ada potensi baik (taqwa) yang bersumber dari ruhaninya, dan potensi buruk (fujur) yang bersumber dari hawa nafsu. Alquran menyebut dalam diri manusia ada nafs al-muthmainnah (positif) yang akan membawa manusia pada kebaikan, dan nafs al-'ammarah (negatif) yang cenderung menjerumuskan manusia pada pembangkangan dan kejahatan.

Berbagai rentetan kebrutalan manusia yang terjadi di AS, begitu juga di negara lainnya seperti di Myanmar, menegaskan krisis moralitas yang menerpa manusia modern. Karena itu, kebijakan Trump membangun tembok perbatasan AS-Meksiko dan membuat larangan perjalanan bagi warga negara tertentu, tidak akan efektif menghilangkan ancaman teror tanpa dibarengi penguatan moral-spiritual warganya sendiri.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement