Selasa 17 Oct 2017 06:59 WIB

Tafaqquh fi al-Din Versi Darul Arqam

Pejuang Islam (ilustrasi)
Foto: Unstranslation.com
Pejuang Islam (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dikdik Dahlan, Ketua Majelis Tabligh PW Muhammadiyah Jawa Barat dan Alumnus Darul Arqam

Kelas, masjid, dan asrama. Itulah tiga poros pembinaan santri Darul Arqam (DA) sejak awal berdirinya sampai hari ini dan mungkin sampai kapan pun. Dari 24 jam waktu yang tersedia dalam sehari, sembilan jam setengah dihabiskan di dalam kelas, setiap setengah jam menjelang waktu shalat fardhu digiring memasuki masjid. Sisanya dipergunakan untuk istirahat, melakukan keperluan pribadi, dan bercengkerama dengan sesama santri.

Capek, bosan, jenuh selalu menghantui, bahkan bukan tidak mungkin pada sebagian santri memiliki perasaan telah 'dibuang' orang tuanya. Tidak mengherankan pula banyak santri yang gugur di tengah jalan, apalagi di awal pendirian, ketika sarana masih sangat terbatas. Buktinya, dari 54 orang santri perdana yang terdaftar – itu pun hasil merayu dan setengah memaksa— yang tuntas menyelesaikan studi enam tahun tinggal 19 orang saja.

Cita–cita besar memang tidak hanya untuk digantungkan, tetapi menantang juga untuk dipanjat. Sebagai sebuah lembaga pendidikan, DA memiliki misi dan orientasi yang harus diperjuangkan. Kaderisasi ulama yang memiliki kompetensi sebagai ulama tarjih sekaligus mubaligh dan pengelola organisasi yang andal, itulah cita-cita besarnya.

Dari sini besar harapan, lahir para pemimpin masa depan, baik untuk kepentingan persyarikatan Muhammadiyah, umat, maupun bangsa dan negara. Karena itu, tafaqquh fi al-din (berkonsentrasi memperdalam pengetahuan) adalah jalan satu-satunya yang harus ditempuh.

Tafaqquh fi al-din sebagaimana diisyaratkan dalam surah at-Taubah ayat 122 dimaknai oleh para pendiri DA yang tiada lain adalah pimpinan Muhammadiyah Garut sebagai bagian dari jihad fii sabilillah. Bahkan, menurut Moh Miskun Asy (Alm), salah seorang pendiri dan pimpinan pondok pertama, dalam kondisi tidak ada yang menuntut perang dalam arti fisik, maka ber-tafaqquh fi al-din memiliki nilai yang lebih tinggi.

Apa yang dilakukan oleh DA tentu bukan tanpa alasan. Dahulu, sebelum Rasulullah menyingsingkan tangan menyampaikan risalah Allah ke tengah masyarakat yang lebih luas, beliau mendidik secara intensif para sahabat al-Sabiquna al-Awwalun (golongan pertama yang masuk Islam) di sebuah rumah milik Arqam bin Abil Arqam.

Dari tafaqquh fi al-din yang dilakukan Rasulullah bersama sahabatnya di rumah Arqam bin Abil Arqam ini lahir individu-individu visioner berwawasan ke depan, terampil berdakwah, dan tahan banting dalam membantu gerak perjuangan Rasulullah.

Ber-tafa’ul kepada nama sahabat pemilik rumah yang menjadi basecamp pergerakan sekaligus tempat perkaderan pada masa Rasulullah itu, Muktamar ke-37 Muhammadiyah tahun 1968 di Yogyakarta menetapkan bahwa pengaderan formal di lingkungan Muhammadiyah diberi nama Darul Arqam, yang berarti rumah milik Arqam bin Abil Arqam. Karena pondok ini didirikan juga sebagai insitusi perkaderan, tampaknya tidak ada lagi nama yang lebih cocok selain Darul Arqam.

Berasrama merupakan pilihan mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar terkait dengan padatnya jam belajar. Ruang kelas identik dan menjadi ciri pendidikan formal, sedangkan masjid menjadi simbol interaksi antara kiai dan santri sekaligus roh denyut nadi kehidupan pesantren umumnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement