REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Harri Ash Shiddiqie *)
Tahun 2003. Dan Brown membuat heboh lewat novelnya “Da Vinci Code”. Awal Oktober ini, saat meluncurkan Novel “Origin” ia berkata : Nantinya, agama dikalahkan sains. Kelak, Tuhan digantikan kecerdasan buatan (Artificial intelligence = AI) dalam jaringan interkoneksi (berbasis cloud). Pernyataan Brown didasari penelitian Ray Kurzweil, seorang ilmuwan, futuris, pimpinan sebuah divisi pengembangan Google, dan NASA di bidang AI.
Tidak perlu heran, tidak perlu terkejut, pernyataan sejenis Brown sudah muncul lebih dari 100 tahun lalu oleh sosiolog, antropolog, psikolog, yang mempelajari “Teori Agama”. Mereka menelaah dari mana asal agama dan apa fungsi agama. Para ahli itu berdiri di luar iman ilahiyah, karena mereka memang menolak penjelasan ilahiyah. Produk kajian tentang dari mana asal agama, hari ini tetap gencar didengar, agama adalah produk budaya. Akibat berikutnya : Alquran adalah produk orang Arab.
Marx di sekitar pertengahan abad 19 berkata,sebagai produk budaya, produk sosial, agama adalah alat penguasa menekan kelas pekerja. Ia diilhami Feuerbach, Tuhan adalah rekaan manusia. Nietzsche juga bilang, Tuhan sudah mati. Freud berkata: Agama cuma ilusi.
Mereka tidak terjebak, mereka dengan sadar menyimpulkannya. Dan dipastikan, banyak orang-orang yang mengangguk bahwa Marx dan Nietzsche itu benar.
***
AI dibuat agar mesin (komputer) dapat secerdas manusia. Ia bisa belajar, berpikir, menalar dan memutuskan. Sebuah mesin belajar, artinya banyak data yang dimasukkan dalam memorinya sehingga banyak pengetahuan yang tersimpan di dalamnya. Bisa memutuskan artinya di dalam prosesornya dimasukkan langkah-langkah program (algoritma) yang akan menyeleksi kesamaan nilainya, operasi matematika, tanda-tanda dan hurufnya, sampai pada susunannya. Dari sana dihasilkan keputusan: Ya atau Tidak.
Sebuah komputer yang diberi program AI, dapat bertindak sebagai manusia, bahkan ulung. Contohnya, bermain catur. Sangat ulung, sehingga tidak mudah dikalahkan. Tahun 1997, juara dunia Garry Kasparov pernah beradu dengan mesin cerdas AI “Deep Blue” buatan IBM.
Bila seluruh pemikiran dan pengalaman ahli jantung dimasukkan dalam komputer, maka dengan memasukkan data jumlah detaknya, tekanan darah, kadar gula, dan informasi lainnya, maka terhadap seseorang yang tiba-tiba lemas, komputer AI langsung memutuskan tindakan apa yang harus dilakukan. Obat apa dan dosis berapa yang harus diberikan, semuanya terpecahkan dalam waktu singkat.
Penerjemah Google juga AI, bila AI catur bisa memprediksi bahwa setelah kuda bergerak ke depan, hanya ada kemungkinan gerak bidak pion atau menteri. Maka, bila di kotak terjemah dituliskan Obama, kecil kemungkinannya diikuti kata gajah, langit atau Einstein. Kemungkinan besar adalah kata kerja, Trump, atau Hillary.
AI menjadi dokter handal, penerjemah hebat, sebagai robot ia bisa bernyanyi merdu, dan sebagai pemain catur, Kasparov kalah. Dari sana Brown berlogika, di sebuah jepit rambut, kacamata, atau di belakang telinga kita ada “tahi lalat”, implan sebesar kacang hijau yang terhubung serabut halus ke otak.
Implan masuk dalam interkoneksi AI seluruh dunia berbasis cloud. Tak usah risau, berada di mana saja kita mampu berbahasa apa saja. Sakit? Di sana tersedia dokter spesialis ginjal sampai kuku.. Sedih? Di sana ada psikolog yang mengelus hati.
Mimpi Brown: Semua terjawab. Manusia tidak lagi memerlukan Tuhan.
Kesimpulan Brown berdasar teknologi itu itu tepat seperti pernyataan ahli sosiologi di tahun 60-an. Mereka memprediksi agama akan ditinggalkan pemeluknya (saya menulisnya di ROL, April 2017: Nafas Akhir Tesis Sekularisasi). Sekitar 35 tahun kemudian, para sosiolognya masih hidup, prediksi itu dikoreksi, bahkan ada yang mengusulkan: Dikubur. Menapak milenium baru agama justru semakin tumbuh. Terutama Islam, ia semakin kuat.
***
Pernyataan-pernyataan yang menggoyahkan iman selalu muncul, dan selalu menarik perhatian. Logis dan menggiurkan. Iman bisa goyah, setelah goyah tersungkur menjadi atheis. Ada juga yang duduk di dua sisi, sebagai orang yang tidak tahu. Percaya adanya Allah? Tidak. Apakah berart: Percaya bahwa Allah tidak ada? Juga tidak. Itulah agnostik. Dalam ketidaktahuannya tetap dirumuskan pikiran-pikirannya. Kesamaan dalam pemikiran dan pemahaman terbentuk kelompok, lalu muncul ajaran.
Kesimpulan sosiolog dan antropolog, bahwa agama dan ajaran apapun adalah produk budaya, produk manusia, dianggap benar oleh mereka yang memang tidak menyatukan hidupnya dalam agama, tidak tunduk kepada kekuatan ilahiyah. Mereka ikut dan tunduk kepada olah pikirnya. Padahal, setan bernama rakus dan serakah selalu bergentayangan. Ada yang serakah darah rakyatnya, berdasar ajaran komunisme jutaan nyawa hilang di jaman Uni Sovyet, dan Mao Zedong di Cina. Juga ada ajaran kapitalisme yang rakus harta lalu minum darah tetangganya.
***
Seseorang yang menyembah hasil pikirannya sendiri atau hasil pikiran orang lain, itu sia-sia. Manusia itu lemah, memang tahu tentang fisika, sampai di ranting ilmunya bernama elektronika, komputer, kecerdasan buatan dan pembentukan interkoneksinya, tapi sama sekali tak tahu sebuah dimensi yang menjadi dasar fisika, yakni: waktu. Kecepatan gerak, daya, arus listrik, dan berbagai besaran fisika selalu dihitung berdasar dimensi waktu. Harga prosesor komputer juga tergantung pada kemampuan akses data per satuan waktu.
Aneh. Selain ruang yang tak bisa dilobangi, waktu tetap misteri. Di manakah dia? Jangankan menundukkannya, menghentikannya sesaat saja, manusia tak mampu. Tua tak bisa ditunda. Ilmuwan fisika manapun, bahkan presiden negeri hebat sekalipun, tak terkecuali novelis semacam Dan Brown, semua pasti kalah, takluk ditembus waktu. Tua lalu mati, kaku.
Masihkah menyembah kemampuan pikir manusia?
Ya Allah, kami selalu lemah, tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus, jalan-Mu. Amin.
*) Penyuka sastra dan teknologi, di Jember.