Oleh: MHR Shikka Songge*
Penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Pak Lafran Pane, Penggagas dan Pendiri HMI 5 Februari 1947, bukan untuk dibanggakan melainkan untuk disykuri. Bahwz Pak Lafran adalah manusia biasa yang berfikiran besar, dan penggagas masa depan. Setiap karya besar, visioner dan mensejarah adalah hanya dimiliki oleh segelintir orang yang terdidik dan berkesadaran tinggi melampau zamannya.
Pak Lafran Pane satu diantara segelintir anak bangsa yang sezamannya, ia termasuk pemilik kategori diatas. Pak Lafran yang mengurai dan melukiskan HMI di atas kanfas sejarah gemilang bagi perjalanan peradaban negeri ini.
Pak Lafran memiliki ide besar, brilian, dan sangat kuat mempengaruhi arah perubahan Indonesia. Setiap ide besar, kuat dan berpengaruh itu, digambarkan oleh al Quran seperti Pohon yang tumbuah kuat, akarnya menghujam ke dalam bumi, batangnya tegap dan kokoh, memiliki dahan ranting yang lentur, berdauan, berbunga dan berbuah lebat enak dimakan atas izin Allah (Quran surat ibrahim 34).
Bila Pak Lafran tidak memiliki cita cita yang benar, baik dan kuat, tentu HMI tidak sebesar ini dan mungkin bisa jadi sdh bubar dan berantakan. Saya kira Pak Lafran pada saat mendirikan HMI tentu tidak pernah memikirkan bahwa kelak dia harus mendapat gelar Pahlawan Nasional oleh Pemerintahan Republik Indonesia. Tapi inilah ikhtiar peradaban Pak Lafran, dengan mendirikan HMI dan HMI begemuruh dan membumi di sepanjang bumi para luhur di nusantara, sejarahpun mentakdirkan Pak Lafran memperoleh anugerah Gelar Pahlawan Nasional dari Pemerintahan RI.
Sepengelihatan dan sepengatahuan saya, Pak Lafran, sosok yang amat berintegritas. Antara niat, fikiran, peryataan dan tindakan sesuatu yang amat menyatu pada pribadi Pak Lafran. Kesederhaannya adalah realitas keseharian Pak Lafran. Bila beliau hendak ke Kampus untuk menemui mahasiswa atau mengajar beliau cukup naik sepeda ontel, atau naik angkutan kampus.
Di rumah jabatan Pak Lafran (kompleks IKIP Karang Malang Yogyakarta) tidak ada kursi sofa, yang ada hanya kursi rotan yang sudah tua. Bahkan pada saat ia menerima gaji sebagai anggota DPA di akhir masa jabatan Presiden Soeharto, Pak Lafran bingung menerima gaji yang melampaui batas kebutuhannya.