Oleh: Ridwan Budiman, S.IP*
Penetapan status tersangka Setya Novanto (setnov) oleh KPK atas kasus Korupsi E-KTP, memunculkan situasi pelik bagi Partai Golkar. Partai yang pernah berjaya di era Orde baru itu setidaknya menghadapi dua tantangan penting ke depan.
Pertama, Pilkada Serentak 2018, khususnya di Jawa Barat. Kedua, regenerasi kepemimpinan di internal Partai Golkar.
Dua momentum ini harus dilakukan secara paralel, cepat, namun juga hati-hati. Karena jika proses konsolidasi tidak selesai, faksi-faksi yang ada di tubuh Golkar berpotensi menjadi kontraproduktif bagi partai yang memiliki suara kedua terbesar di Jawa Barat itu.
Diketahui, dalam proses Pilkada Jawa Barat, Partai Golkar telah memutuskan untuk mendukung Wali Kota Bandung Ridwan Kamil sebagai Bacagub. Meskipun awalnya surat penetapan tersebut diduga hoaks, namun fakta belakangan menegaskan bahwa surat yang ditandangani langsung oleh Setya Novanto tersebut adalah sikap resmi institusi.
Keputusan Partai Golkar dukung Ridwan Kamil di provinsi berpenduduk terbesar di Indonesia ini tak ayal memunculkan friksi di internal Partai Golkar. Imbasnya, Ketua DPD Partai Golkar Dedi Mulyadi ikut terseret konflik karena menilai proses penetapan tersebut tidak melalui jenjang pengkaderan serta mekanisme yang lazim.
Secara politik elektoral, sebenarnya PDI Perjuangan pemegang kunci terbesar perolehan suara di Pemilu 2014. Partai besutan Megawati ini mampu untuk mencalonkan sendiri Pilgub Jabar 2018 karena memeroleh jumlah minimal 20 kursi. Sedangkan Golkar hanya berada di urutan kedua dengan perolehan 17 kursi. Sedangkan, PKS memiliki 12 kursi setara dengan Partai Demokrat.
Namun di tengah gelombang isu penistaan agama, ketiadaan figuritas di internal PDIP Jawa Barat, serta konfigurasi sosio-religiusitas masyarakat atas persepsi yang dibangun terhadap partai ini, praktis hanya Golkar dan PKS saja yang memegang kendali Pilgub Jabar.
Selaras di tingkat daerah, di tingkat nasional pun berimpilkasi mendesak untuk regenerasi kepemimpinan ketua umum. Beberapa nama telah muncul, dengan masing-masing dukungan dari proksi politiknya. Ada yang berlatar belakang menteri, politisi di DPR, hingga pengurus di internal Golkar yang saat ini masih menjabat.
Melihat Masa Depan Golkar
Jika membaca sejarah, khususnya di beberapa buku tentang Partai Golkar, misalnya di The Golkar Way, terjadi pergeseran corak kepemimpinan di internal Partai Golkar. Sejak Orde Baru hingga reformasi, Golkar berhasil membangun sistem kelembagaan politik yang kuat karena memiliki jaringan yang terstruktur secara rapi dengan melibatkan militer dan birokrasi.
Di bawah kendali Soeharto sebagai presiden kala itu, muncul adagium ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golkar). Triangle kekuatan politik Orde Baru itu terus melanggengkan kekuatan dalam struktur patront client terhadap rezim saat itu.
Dampaknya, Golkar menjadi organisasi yang tidak otonom (Tandjung, 2007). Berbagai sikap dan keputusan politiknya tidak dapat terlepas dari Soeharto sebagai great father-nya. Dalam fase ini, Golkar berhasil membangun basis ideologi dan struktur yang solid karena ditopang oleh penguasa sebagai basis utama ekonomi-politik.
Kaderisasi yang berhasil dari proses ideologisasi politik ini munculah tokoh yang bernama Akbar Tandjung. Sosok yang lebih berwatak akademisi ini berhasil menjaga marwah Partai Golkar di tengah turbulensi politik saat reformasi terjadi.
Partai Golkar bertransformasi menjadi partai yang lebih mandiri, salah satunya karena tidak lagi mendapatkan aliran dana, khususnya dari Yayasan Dakab yang memang sengaja dibentuk oleh Soeharto bertujuan untuk pendanaan Partai Golkar.
Aturan perundang-undangan pun diubah. Birokrasi dan Militer (ABRI) harus menjadi organ vital negara yang harus bersikap netral. Fakta ini berakibat dua hal: Golkar menjadi lebih independen dalam mengambil kebijakan politik, tapi di sisi lain kehilangan basis massa besar yang berasal dari unsur militer dan sipil.
Tak ayal, kondisi membuat Partai Golkar harus cepat melakukan perubahan yang transformatif dan adaptif menjadi catch-all party. Sistem yang dibangun bukan lagi otokratik, tapi oligarki. Pengambilan kebijakan bukan lagi ditentukan oleh satu orang, tapi oleh beberapa kelompok kekuatan.
Sistem unggul (merit system) tercipta. Termasuk kalangan pengusaha (politisi saudagar) pun menghiasi struktur partai berlambang pohon beringin ini. Konsekuensi politik ini menjadi relevan di saat negara tidak lagi menjadi aktor tunggal pendukung anggaran, juga di tengah persaingan politik yang kian plural.
Meskipun demikian, pasca kepemimpinan Akbar Tandjung, ketokohan Partai Golkar menjadi lebih merata. Siapa yang punya kekuatan ekonomi, dia lah yang lebih berkuasa. Partai Golkar tidak lagi bekerja atas dasar political driven tapi economic driven.
Bukan lagi dibangun berdasarkan ideologi yang mengakar. Tapi, hubungan patront-client dibentuk berdasarkan siapa pemilik modal yang paling besar. Tak ayal, seorang ketua partai dapat menjadi pimpinan DPR sekaligus, karena proses pendanaan partai sepenuhnya bergantung kepada siapa saudagar yang mampu membiayai partai.
Pasca Setnov
Kondisi Golkar yang terjadi saat ini, seperti era 20 tahun silam di atas dengan beberapa faktor determinan. Krisis kepemimpinan di tengah konstelasi politik yang harus segera direspon secara cepat. Setya Novanto telah memilih Idrus Marham sebagai Pelaksana Tugas (Plt) untuk menyelamatkan Golkar. Idrus Marham dikenal sebagai sosok yang dingin dan rasional dalam menghadapi polemik.
Meskipun demikian, Idrus Marham lebih dikenal sebagai politisi berlatar belakang akademisi. Secara historis, politisi yang berlatar belakang akademisi relevan untuk menjaga marwah partai di kala krisis, namun tidak memiliki sumber daya kekuatan ekonomi-politik yang mampu menggerakkan untuk menghadapi ekspansi yang diperlukan menghadapi kontestasi politik elektoral, seperti Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019.
Dua indikator pemilu di atas harus menjadi acuan untuk Partai Golkar segera berbenah dan menentukan ketua umum secara definitif dengan meminimalisir gejolak dari masing-masing faksi. Jika Golkar berhasil melalui krisis ini dengan meraih banyak kemenangan di Pilkada serentak 2018, bukan tidak mungkin akan menjadi pesaing utama PDI Perjuangan di Pemilu 2019. Tapi, jika sebaliknya, Golkar akan kembali identik dengan kapal Titanic yang megah namun karam (A Sinking Titanic).
*Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik CIDES Indonesia, Alumni Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, dan Aktivis Literasi Jakarta