Senin 08 Jan 2018 07:31 WIB

Bisakah Rezim Mullah Iran Bertahan?

Pemimpin Tertinggi Iran Ayatulloh Ali Khamenei.
Foto: Reuters
Pemimpin Tertinggi Iran Ayatulloh Ali Khamenei.

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Smith Alhadar, Penasihat ISMES/Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education

Sebagaimana bola salju, gelombang protes rakyat Iran terus membesar. Kalau sebelumnya demonstrasi hanya diikuti oleh rakyat akar rumput yang dipicu melambungnya harga bahan pokok, masyarakat kelas menengah pun mulai tertarik untuk berpartisipasi.

Memang Iran tidak hanya mengalami keterpurukan ekonomi, tapi krisis multidimensi yang juga dirasakan orang berpunya. Melihat situasi mulai genting, pemerintah mengerahkan talabeh (murid pesantren), anggota basij (relawan), pasdaran (Garda Revolusi), dan pegawai negeri untuk turun ke jalan melakukan demonstrasi tandingan.

Sementara itu, pejabat dan Pemimpin Agung Iran Ayatullah Ali Khamenei menuduh kekuatan asing menggunakan segala sumber daya yang mereka miliki untuk menciptakan kekacauan di Iran. Ironis, sebelumnya, pemerintah selalu berkoar bahwa tidak ada kekuatan luar yang dapat memengaruhi rakyat Iran yang loyal pada pemerintahnya, tapi kini kekuatan asing dipandang sebagai biang kerok krisis yang sedang dihadapi rezim mullah.

Tidak bisa dimungkiri bahwa AS, Israel, dan Arab Saudi yang terang-terangan menunjukkan permusuhannya terhadap Iran ikut menuangkan bensin ke atas jerami kering masyarakat Iran akibat salah urus pemerintahan. Namun, kalau rakyat cukup sejahtera tentu tak akan berpengaruh banyak.

Pemberontakan rakyat Iran tak bisa dilepaskan dari hal-hal berikut. Pertama, pemerintahan Presiden Hassan Rouhani berulang kali menjanjikan perbaikan kehidupan ekonomi rakyat yang sangat tertekan oleh sanksi ekonomi internasional pascaperjanjian Rencana Komprehensif Aksi Bersama atau lebih dikenal sebagai kesepakatan nuklir Iran pada Juli 2015.

Kesepakatan itu mengharuskan Iran membatasi pengayaan uranium hingga ke tingkat di mana rezim mullah itu tidak mungkin bisa membuat bom atom. Sebagai imbalan, sebagian sanksi ekonomi dan keuangan internasional dicabut.

Namun, sejak kesepkatan itu diimpelementasikan pada Januari 2016, bisa dikatakan kehidupan ekonomi kebanyakan rakyat Iran tidak mengalami perubahan. Pengangguran tetap tinggi, jurang kaya-miskin semakin melebar, korupsi merajalela, dan harga bahan pokok melambung hingga 40 persen. Tak heran, para demonstran mengecam dan menuntut Rouhani dan Khamenei mundur.

Kedua, pada Desember lalu, pemerintah memotong anggaran untuk program bantuan sosial, sementara anggaran untuk institusi-institusi keagamaan dan revolusi ditambah. Padahal, rakyat sudah muak dengan dua institusi itu bertalian dengan semakin jauhnya jarak antara elite keagamaan dan Korps Garda Revolusi di satu pihak dan rakyat di pihak lain.

Ini tidak sesuai dengan cita-cita revolusi 1979 yang agak terabaikan di zaman Shah Reza Pahlevi. Faktanya, kehidupan rakyat Iran saat ini jauh lebih sulit dibandingkan zaman Shah. Sebelum revolusi, pendapatan per kapita Iran sekitar 2.400 dolar AS.

Kini, 39 tahun kemudian Iran menjadi salah satu negara termiskin di dunia dengan pendapatan per kapita tinggal 1.300 dolar AS. Tak kurang dari 10 juta rakyat hidup di bawah garis kemiskinan absolut dan 30 juta lainnya hidup di bawah garis kemiskinan relatif dari total 80 juta jiwa penduduk Iran. Tak heran, dalam demonstrasi rakyat meneriakkan nama Reza Shah.

Ketiga, Iran yang 80 persen pendapatannya berasal dari ekspor minyak sangat terpukul akibat anjloknya harga minyak dunia sejak 2014. Di tengah kesulitan keuangan ini, pemerintah membelanjakan puluhan miliar dolar AS untuk mendukung kebijakan luar negerinya.

Milisi Syiah direkrut dari Afghanistan, Pakistan, dan Irak digaji bulanan untuk berperang di Suriah menyokong rezim Presiden Bashar al-Assad. Iran juga membantu keuangan milisi Syiah di Irak (Hashid al-Shaabi), Hizbullah (Lebanon), dan Houthi (Yaman) dengan mengorbankan kesejahteraan rakyat Iran. Maka, sepanjang demonstrasi kita menyaksikan slogan-slogan yang meminta pemerintah menghentikan petualangannya di Timur Tengah dengan memberi perhatian kepada ekonomi dalam negeri.

Bisa jadi pemerintah berhasil memadamkan demonstrasi dengan kekerasan. Namun, harga yang harus dibayar sangat mahal. Pemerintah tidak akan bisa memadamkan api di bawah abu tanpa memenuhi tuntutan rakyat, yakni kekayaan negara harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Wilayah etnis seperti Arab di Ahvaz, Kurdi di Kesrmansyah, dan Baloch di Balochistan, yang angka penganggurannya mencapai 60 persen harus mendapat perhatian khusus bersamaan dengan perbaikan kehidupan 11 juta orang yang tinggal di area-area yang selama ini termarginalisasi.

Kebijakan luar negeri yang sektarian, agresif, dan ekspansif juga harus dihentikan. Kebijakan seperti inilah yang membuka peluang bagi pemerintahan Presiden AS Donald Trump melaksanakan politik pembendungan terhadap Iran dan menciptakan permusuhan dengan negara-negara Arab.

Kalau tuntutan rakyat hanya dianggap angin lalu, Iran akan selamanya menjadi negara yang sakit, terisolasi, dan akhirnya lambat atau cepat akan tumbang di tangan rakyatnya sendiri.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement