Selasa 15 Jul 2014 10:20 WIB

Jerman Bukan Skuat Mi Instan!

Yudha Manggala P Putra
Foto: Republika/Daan
Yudha Manggala P Putra

Oleh: Yudha Manggala P.P, Jurnalis Republika Online

Keberhasilan Timnas Jerman menjuarai Piala Dunia 2014 di Brasil menurut saya mengandung pelajaran penting. Bahwasanya kemenangan itu bukan sesuatu yang bisa disajikan secara mudah dan gampang layaknya mi instan. Tinggal buka, seduh, dan voila!... jadi. Sejatinya ada proses panjang yang perlu dilalui. Dan itu seringkali melibatkan kegagalan, pengorbanan, kegigihan juga kesabaran.

Jerman saya nilai tim yang terbukti sukses melalui fase-fase itu. Hasilnya, setelah puasa gelar Piala Dunia selama 24 tahun, Der Panzer mampu menyudahi dahaga mereka dengan hidangan termanis: Trofi juara.

Gelar itu diraih berkat perjuangan gemilang. Selama menjalani total tujuh pertandingan di putaran final 12 Juni–13 Juli 2014, Tim Panser tercatat tidak pernah kalah. Dengan satu hasil seri dan enam kali menang.

Termasuk pada laga final lawan Argentina di Stadion Maracana, Rio de Janeiro, Senin (14/7) dini hari kemarin. Berkat gol tunggal si "bocah ajaib" Mario Goetze pada menit ke-113 (babak tambahan kedua), Jerman jadi juara sekaligus bikin sejarah sebagai tim pertama negara Eropa yang merebut trofi Piala Dunia di Benua Amerika.

Goetze, 22 tahun, memang tampil menawan. Namun ia bukan satu-satunya kunci keberhasilan Jerman. Beberapa faktor lain mendukung. Sebut saja, kolektivitas dan konsistensi permainan, kedalaman materi pemain yang kuat di semua lini, fokus dan mental pantang menyerah, juga kemampuan pelatih mengusung strategi jitu dan andal.

Nah, di balik itu semua, ada hal penting yang sepatutnya dicatat. Yakni, tak ada satupun dari kualitas-kualitas yang menopang sukses Jerman itu terbentuk dalam semalam. Malah sebaliknya. Skuat Jerman saat ini merupakan buah kerja keras dari perencanaan yang dipupuk sejak lama.

Pelatih Jerman Joachim Loew menegaskan hal tersebut. "Saya sempat merasa (kemenangan) ini karena kami telah bersama selama 50 hari, tetapi itu sebenarnya proyek yang sudah kami mulai 10 tahun lalu," kata pelatih berusia 54 tahun itu dikutip Reuters.

Proyek dimaksud Loew adalah program jangka panjang yang disusun Jerman pascakegagalan di Piala Eropa 2004. Pada gelaran itu Der Panzer merasakan pahitnya angkat koper duluan pada babak penyisihan grup D. Mereka tersingkir setelah main imbang melawan Belanda dan Latvia, dan kalah dari Republik Ceska.

Jerman mulai berbenah sejak saat itu. Salah satunya dengan fokus pada pembinaan pemain muda. Proyek ini kemudian dimulai pelatih Juergen Klinsmann dengan Loew sebagai asistennya.

Menariknya, proyek jangka panjang ini tidak hanya melibatkan pemerintah. Kalangan akademisi ikut dilibatkan. Asosiasi Sepak Bola Jerman (DFB) bahkan sampai merubah kurikulum pembinaan usia dini umur 9 sampai 13 tahun berdasarkan penelitian mahasiswa universitas Kohln. Perguruan tinggi itu di antaranya tidak merekomendasikan permainan sepak bola 11 lawan 11 bagi pemain usia di bawah 14 tahun.

Loew memaparkan, selama program berjalan pemain muda Jerman diminta tidak hanya mengadaptasi prinsip klasik soal kerja keras dan bertarung habis-habisan. Mereka juga didorong untuk mendongkrak kemampuan tekhnik agar bisa kompetitif dengan pemain klub-klub dan timnas asing.

"Bundesliga memiliki andil besar dalam hal ini dengan pusat pelatihan mereka," kata Loew. "Mereka melakukan tugas hebat dan saya harus berterima kasih karenanya."

Timnas Jerman pelan-pelan unjuk gigi. Hasilnya memang tidak langsung sesuai harapan. Pada Piala Dunia 2006 yang digelar di negara mereka, Michael Ballack dan kawan kawan lolos ke babak semifinal, meski lajunya terhenti setelah dikalahkan Italia. Usai gelaran ini Klinsmann mengundurkan diri dan Loew maju sebagai penggantinya.

Saat gelaran Piala Dunia 2010 Afrika Selatan, Der Panzer mulai bikin kejutan. Loew menerjunkan tim dengan pemain-pemain usia termuda dalam 76 tahun sejarah Jerman. Di antara pemain yang diboyong, Manuel Neuer, Bastian Schweinsteiger, Mesut Oezil ,Toni Kroos, Thomas Mueller, Sami Khedira, dan Lukas Podolski. Para pemain belia itu adalah bagian investasi jangka panjang yang digulirkan sejak 2004.

Jerman memang kembali menelan kekalahan dari tim Spanyol di semifinal. Namun, di turnamen itu mereka tidak hanya memperlihatkan wajah tim lebih segar, tapi permainan menyerang atraktif yang kontan merebut hati penggemar.

Loew terus berusaha memetik pelajaran positif dari kegagalan-kegagalan mereka. "Kekuatan terbesar kami adalah performa kami terus meningkat meski gagal melangkah maju di sebuah turnamen," kata dia optimistis.

Kata-kata itu seakan menjadi mantra yang mengiringi Jerman menjuarai Piala Dunia Brasil. Mereka tidak sekadar menang. Sejumlah rekor berhasil dipecahkan Lahm dan kawan-kawan. Salah satunya, rekor kemenangan terbesar sepanjang piala dunia digelar ketika mengalahkan Brasil 7-1.

Jerman kini resmi punya empat bintang yang bisa disematkan di seragam mereka. Jumlah bintang itu sama dengan jumlah gelar juara dunia yang pernah diraih. Der Panzer juga menjadi juara piala dunia pada 1954, 1974, dan 1990. Negara Eropa lain satu-satunya yang menyamai prestasi serupa adalah Italia.

"Kita telah berjuang keras hingga akhir meraih kemenangan untuk keempat kalinya, Selamat," kata Kanselir Jerman Angela Merkel meluapkan kegembiraaanya usai pertandingan final yang disaksikannya langsung.

Kata-kata Merkel itu seolah ingin menegaskan, kemenangan Jerman tidak turun langsung dari langit. Melainkan hasil kerja keras dan konsistensi. Merkel sadar, Der Panzer saat ini bukan 'hidangan' pengobat lapar (prestasi) yang terbentuk lewat proses sederhana dan singkat. Dengan kata lain, Jerman bukan skuat mi instan. Tapi generasi unggul yang lahir dari kegagalan dan kesabaran.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement