REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Fakhruddin/wartawan Republika
twitter: @penareal2001
"Salam gigit jari untuk kawan-kawan persyarikatan." Demikian saya tulis dalam status akun Facebook pribadi. Status tersebut saya tulis beberapa jam setelah pengumuman kabinet, Senin (26/10). Itupun setelah sadar ternyata tidak ada kader Muhammadiyah yang mendapat posisi menteri.
Komentar pun bermunculan di bawahnya. Pemilik akun Facebook Sugeng Riyanto mengatakan,"Ora popo." Senada dengan Sugeng, akun Facebook Tanto Tudhung mengatakan, "Kader Muh fokus membesarkan persyarikatan."
Pemilik akun Naufal Widi Asmoro Rofid menimpali, "As i know, saleh husin (hanura, menperin), itu warga muhammadiyah.. bbrp kali bertemu di PP.. deket dgn pak din."
Komentar-komentar itu sebagian kecil dari perdebatan panjang di sejumlah forum-forum internal kader Muhammadiyah. Mereka pun banyak mempertanyakan mengapa Kabinet Kerja Jokowi-JK tidak mengakomodir kader Muhammadiyah di dalamnya.
Padahal, tidak sedikit warga Muhammadiyah yang menjadi relawan Jokowi-JK pada Pemilihan Presiden 2014. Mereka tergabung dalam Relawan Matahari Indonesia yang digagas mantan ketua Pemuda Muhammadiyah Izzul Muslimin. Bahkan, mantan ketua umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Buya Syafi'i Maarif juga sempat menjadi penasehat tim transisi. Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin juga beberapa kali terlihat mesra dengan Jokowi. Meskipun kerap disudutkan oleh relawan Jokowi, misalnya kasus Wimar Witoelar yang menuding Muhammadiyah sebagai kawanan bandit, Din selalu membalasnya dengan perkataan yang menyejukkan. Padahal, Din terkenal kritis, bahkan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekalipun.
Nama Din juga sempat muncul dalam bursa kabinet Jokowi-JK. Namun hingga waktu pengumuman, nyatanya Din maupun kader murni Muhammadiyah tidak ada yang terpilih menjadi menteri.
Seperti tidak adanya suku Batak dalam kabinet, absennya kader Muhammadiyah dalam Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla juga seperti sayur tanpa garam. Pasalnya, ormas Islam terbesar kedua di Indonesia ini sejak dahulu mengedepankan dakwah dengan perbuatan daripada hanya lisan saja. Jadi paradigma bekerja sudah dibuktikan dalam tindakan keseharian.
Buktinya, Muhammadiyah yang sudah berumur seabad ini telah memiliki puluhan ribu amal usaha yang tersebar di seluruh pelosok Tanah Air. Usia ini sekaligus menunjukkan bahwa Muhammadiyah lebih tua dari usia Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejak berdiri pada 1912, tidak bisa dimungkiri bahwa Muhammadiyah telah banyak memberikan kontribusi dalam mengawal perjalanan bangsa Indonesia.
Hingga kini, Muhammadiyah memiliki 4.623 TK/TPQ, 2.604 Sekolah Dasar (SD)/MI, 1.772 Sekolah Menengah Pertama (SMP)/MTs, 1.143 Sekolah Menengah Atas (SMA)/SMK/MA, 71 Sekolah Luar Biasa (SLB), 67 pondok pesantren, dan 172 perguruan tinggi Muhammadiyah.
Di bidang kesehatan, Muhammadiyah memiliki 457 rumah sakit, rumah bersalin, dll. Tidak hanya itu, di bidang sosial kemasyarakatan Muhammadiyah memiliki 318 panti asuhan, santunan, asuhan keluarga, dll. Sebanyak 54 panti jompo, 82 rehabilitasi cacat.
Di bidang keagamaan, Muhammadiyah membangun 6.118 masjid dan 5.080 musholla. Melihat, amal usaha Muhammadiyah yang demikian banyak dapat dikatakan bahwa Muhammadiyah telah bekerja untuk bangsa dan negara ini, jauh sebelum kabinet kerja terbentuk. Oleh karena itu, pada kabinet-kabinet sebelumnya, kader Muhammadiyah kerap diperhitungkan untuk menempati posisi menteri pendidikan, kesehatan, dan menteri agama.
Pamor kader Muhammadiyah di pemerintahan mulai meredup sejak Kabinet Indonesia Bersatu Jilit II. SBY tidak memberikan posisi menteri kesehatan dan pendidikan untuk Muhammadiyah.
Ditengarai hal ini juga yang membuat Din meradang dan kerap kritis kepada pemerintahan SBY. Berharap membalikkan keadaan pada Pemerintahan Jokowi-JK, ternyata bagai pungguk merindukan bulan, hal itu tidak terjadi. Oleh karena itu banyak kader yang berseloroh ketika ditanya mengapa Muhammadiyah tidak mendapat jatah menteri. Jawab mereka, "Salam gigit jari!"