Satya Festiani
Redaktur Ekonomi Republika
Hanya sekitar dua tahun lalu kita menikmati nilai tukar rupiah masih di kisaran Rp 9000-an per dolar AS. Pada awal 2013 itu, rupiah dibuka di level Rp 9600-an per dolar AS. Kini tiba-tiba rupiah sudah di kisaran Rp 13 ribu per dolar AS.
Barang-barang impor, terutama elektronik, yang dulu dapat dibeli dengan harga murah, kini harganya melambung, sejalan dengan pelemahan rupiah. Saya masih ingat dulu harga netbook impor pernah ada yang mencapai Rp 2 jutaan karena penguatan rupiah tersebut.
Perbaikan ekonomi AS menjadi salah satu penyebab jatuhnya rupiah. Dulu kita diuntungkan dengan adanya Quantitative Easing (QE) dari bank sentral AS the Federal Reserve (the Fed).
Uang-uang panas masuk ke pasar Indonesia. Seiring perbaikan ekonomi AS, uang-uang tersebut kembali ke tempat asalnya. Lebih parahnya lagi, Indonesia memiliki defisit transaksi berjalan.
Rupiah sebenarnya sempat menguat ketika Presiden Joko 'Jokowi' Widodo akan dilantik pada akhir tahun kemarin. Saat itu, investor optimistis pada Pemerintahan Jokowi. Sekarang, rupiah kembali melemah ke level Rp 13 ribu-an.
Ada pengamat yang mengatakan pelemahan ini disebabkan ekpektasi investor yang ketika itu terlalu tinggi pada Jokowi. Investor berpikir Pemerintahan Jokowi tidak sesuai ekspektasi.
Selain dugaan tersebut, banyak masalah lain yang memang menyebabkan rupiah melemah. Tentunya Bank Indonesia (BI) tak bisa sendirian dalam menghadapi masalah ini. Jika tidak, cadangan devisa BI yang pada 27 Februari lalu tercatat 115,5 miliar dolar AS akan terkuras. Pemerintah pun akhirnya mengeluarkan paket kebijakan yang konon katanya dapat menstabilkan nilai tukar rupiah pada Senin (17/3).
Kebijakan tersebut di antaranya adalah insentif pajak bagi pengusaha yang berorientasi ekspor dan melakukan reinvestasi, meningkatkan penggunaan biofuel, penerapan bea masuk antidumping dan pengamanan sementara, serta memberikan bebas visa kunjungan singkat untuk wisatawan pada 30 negara. Kebijakan tersebut katanya baru akan benar-benar diimplementasikan pada April.
Pemerintah pun bahkan diam-diam telah memanggil beberapa perusahaan yang masih bertransaksi menggunakan dolar AS di Indonesia. UU Mata Uang no 7/2011 mewajibkan penggunaan rupiah dalam setiap transaksi yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ironisnya, perusahaan pemerintah, seperti Pertamina dan Aneka Tambang, pun masih terkadang menggunakan dolar AS dalam bertransaksi. Jumlahnya pun cukup besar.
Terlepas dari itu, investor sepertinya merespons positif kebijakan tersebut. Rupiah dalam perdagangan antarbank dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Selasa tercatat menguat. Walaupun penguatan hanya terjadi tipis sekali.
Tentunya kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tersebut bukan tidak memiliki efek negatif. Kebijakan insentif pajak bagi pengusaha yang berorientasi ekspor, misalnya. Kebijakan tersebut akan dapat menurunkan penerimaan pajak negara. Padahal, target penerimaan pajak pemerintah tahun ini sangat tinggi, yakni Rp 1.300 triliun. Angka tersebut naik 44 persen dibandingkan tahun lalu. Bisa kah pemerintah mencapai target setinggi itu?
BI pun tidak tinggal diam. Menyusul paket kebijakan ekonomi pemerintah, BI berencana mengeluarkan paket kebijakan moneter. Hingga Selasa, BI masih merahasiakan detail dari paket kebijakan moneter tersebut. BI hanya memberi clue bahwa paket tersebut terkait pendalaman pasar keuangan. BI akan memperluas instrumennya, pelaku pasarnya dan produknya.
Paket kebijakan BI tersebut memang sangat dibutuhkan Indonesia. Sebab, kenaikan suku bunga AS atau Fed Fund Rate sudah di depan mata. Dengan keadaan ekonomi AS yang terus membaik, bukan tak mungkin The Fed segera menaikan suku bunga. Tanpa adanya solusi, rupiah dan IHSG dapat kembali anjlok jika investor lebih memilih menempatkan uang mereka di AS.
Apakah kedua paket kebijakan dari Pemerintah dan BI tersebut akan cespleng dalam menguatkan nilai tukar rupiah? Kita lihat saja. Semoga rupiah dapat kembali berjaya.