Selasa 21 Apr 2015 17:20 WIB

Menimbang Nasib Sepak Bola Indonesia, Bangkit atau Tenggelam?

Mohammad Akbar
Foto: Republika
Mohammad Akbar

Oleh: Mohammad Akbar

Wartawan Bola Republika

Entahlah, perasaan seperti apa yang layak untuk menggambarkan ketika mendengar PSSI dibekukan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) pada pekan lalu. Ada rasa gembira tapi terselip juga rasa sedih. Semuanya membaur menjadi satu tanpa bisa diungkapkan seperti apa jenis perasaan itu.

Mari kita urai secara singkat mengapa saya bergembira. Selama empat tahun terakhir, PSSI mengalami pencapaian terburuknya sejak 2003 jika menggunakan ukuran daftar peringkat FIFA. Saya sengaja memilih peringkat FIFA karena inilah penilaian yang lebih terukur dibandingkan indikator lainnya. Jika Anda tak setuju, biarlah!

Rentang waktu 2003 ini saya pilih karena masa itu menjadi awal dari berkuasanya Nurdin Halid sebagai ketua PSSI. Saat itu, Indonesia menempati peringkat 91 dunia versi FIFA. Lalu di penghujung duet kepengurusan Djohar Arifin Husin dan La Nyalla Mattalitti, posisi Indonesia melorot sampai peringkat ke-159.

Peringkat ini begitu terasa menistakan karena Timor Leste -- negara yang baru melepaskan diri dari Indonesia pada 20 Mei 2002 -- berada tujuh peringkat di atas Indonesia. Pantaskah kita malu dengan pencapaian Timor Leste yang dalam dua tahun terakhir ini sedang memperlihatkan peringkat yang terus membaik?

Rasa malu itu kian membesar jika kita membuka lembaran-lembaran peringkat yang dikeluarkan FIFA dalam dua dekade terakhir. Peringkat Indonesia di bawah kepemimpinan Djohar-La Nyalla yang berakhir pada pekan lalu itu menjadi yang terburuk dibandingkan periode Azwar Anas (1991-1999), Agum Gumelar (1999-2003) hingga sosok Nurdin Halid (2003-2011) yang pernah memimpin PSSI dari balik jeruji penjara. Dalam rentang waktu itu, Indonesia pernah dua kali nangkring di posisi terbaiknya di peringkat 87, yakni pada 1998 dan 2001.

Nah, di sinilah saya merasa gembira. Pembekuan yang dilakukan pemerintah telah menunjukkan adanya itikad dari penguasa negeri ini untuk memerbaiki prestasi sepak bola Indonesia. Bukankah sudah kadung terucap janji jika Indonesia ditargetkan bisa tampil di Piala Dunia saat merayakan 100 tahun kemerdekaan negeri ini pada 2045?

Jika ingin meraih janji itu maka sudah sepantasnya orang yang telah gagal tak lagi dikasih kesempatan untuk mengelola PSSI. Terpilihnya La Nyalla sebagai ketua umum PSSI periode 2015-2019, mungkin dianggap oleh Menpora Imam Nahrawi sebagai 'pemimpin yang tak dikehendaki'. Pengumuman pembekuan itu disampaikan hanya beberapa jam saja sebelum La Nyalla dinyatakan sebagai pemenang dari hasil Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI di Surabaya pada 18 April 2015.

Pemerintah sepertinya telah melihat dan mendengar bakal seperti apa jika La Nyalla tetap direstui sebagai ketua umum PSSI. Nah di sinilah saya menjadi merasa sedih. Sudah menjadi pembicaraan yang begitu ramai di jagat media sosial jika 'para pembisik' Menpora itu adalah orang-orang yang dulunya pernah tergabung di dalam kongsi Indonesian Premier League (IPL).

Terlepas suka atau tidak, inilah awal dari membaranya api yang selama ini mampu tersimpan di dalam sekam. Lahirnya IPL telah memunculkan dualisme kepengurusan klub secara telanjang. Secara idealisme, IPL memang bertujuan mendorong klub dan kompetisi sepak bola bisa dikelola secara profesional. Sayang, dalam pelaksanaannya, idealisme itu hanya menjadi 'macan ompong' seiring juga dengan bubarnya kompetisi IPL tersebut.

Selain hadirnya 'para pembisik IPL', saya juga merasa sedih jika pembekuan PSSI ini bisa saja membuat FIFA menjatuhkan hukumannya kepada sepak bola Indonesia. Di sini juga kembali terjadi polemik. Sebagian pihak berpendapat biarlah sepak bola Indonesia dilarang mengikuti agenda sepak bola FIFA, tentunya sambil membuang 'orang-orang lama' dari kepengurusan PSSI. Bukankah hal semacam ini pernah dilakukan oleh Jepang sebelum mereka melahirkan J-League?

Begitulah argumentasi yang kerap didengung-dengungkan oleh mazhab 'revolusi PSSI' ini. Tapi pernahkah kita pikirkan juga bagaimana jika Indonesia tak lagi diakui FIFA? Akankah kompetisi domestik mampu menghidupkan 'dapur' para pemain yang selama ini telah menggantungkan seluruh hidupnya pada sepak bola?

Terakhir, saya hanya berharap sederhana. Buanglah egoisme kelompok dan golongan dalam mengelola sepak bola negeri ini. Bukankah semangat utama dari olahraga adalah fair play dan sportifitas? Marilah kita membenahi sepak bola tapi bukan dengan cara membunuh nyamuk dengan bom.

Jika Anda memang sudah tak layak, akuilah diri untuk mundur dengan hati yang besar. Dengan sikap semacam itulah, Anda akan bisa dikenang sejarah sebagai orang besar bagi generasi penerus bangsa ini.

Begitu juga bagi para pembisik penguasa. Kembalikanlah PSSI kepada khittahnya, sebagai penguat semangat kebangsaan dan mengangkat martabat bangsa ini melalui sepak bola. Janganlah memecah belah sepak bola negeri ini hanya karena kepentingan jangka pendek demi memuaskan nafsu semata. Bangkitlah sepak bola negeriku!

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement