Oleh: Arif Supriyono
Wartawan Republika
Kabar itu sungguh sejuk dan menggembirakan. Mungkin untuk sebagian orang, berita itu tidaklah terlalu penting atau biasa saja.
Namun, bagi saya, berita itu sungguh telah saya tunggu-tunggu sejak lama. Walau begitu, saya yakin tidak akan mudah untuk bisa membuat suatu keputusan bersama yang melegakan masyarakat luas.
Niat Kementerian Agama untuk menjajagi penyusunan penanggalan Hijriah bersama antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sungguh kebijakan yang sangat positif. Dua organisasi massa Islam terbesar di tanah air itu punya peran penting dalam penetapan penanggalan Hijriah, terutama terkait dengan penentuan awal-akhir Ramadhan serta Idul Fitri/Idul Adha.
Sudah tak terbilang seringnya terjadi perbedaan dalam penetapan Ramadhan dan Idul Fitri/Idul Adha antara keduanya. Persamaan dalam penetapan itu beberapa kali terjadi. Akan tetapi, rasanya lebih sering terjadi perbedaan.
Masyarakat luas pun tahu, perbedaan metode dalam penanggalan antara kedua ormas tersebut. NU memakai metode rukyatul hilal (melihat bulan), sehingga penetapan tersebut biasanya baru bisa dilakukan sehari menjelang hari H. Sedangkan Muhammadiyah memakai cara hisab (penghitungan) sehingga penetapan tersebut bisa dilakukan jauh hari.
NU mendasarkan metode rukyatul hilal pada Hadis Nabi. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad saw mengatakan, shumu li ru'yatihi, wa afthiru li ru'yatihi (berpuasalah karena melihat hilal, dan berhari rayalah karena melihat hilal)." (HR Muslim).
Hadis itu menjadi pegangan kuat bagi kalangan Nahdliyin. Karena itu, kaum Nahdliyin lebih memakai rukyatul hilal dalam menetapkan Ramadhan atau hari raya. Kalau Nabi saja menyatakan demikian, maka wajib bagi umat NU untuk mengikutinya.
Adapun metode hisab yang dipakai Muhammadiyah berlandaskan pada firman Allah dalam surat Arahman ayat 5. Bunyi ayat itu adalah: Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan (QS 55:5).
Dengan ayat itu, kalangan Muhammadiyah berpandangan, bahwa peredaran matahari dan bulan bisa dihitung dan diprediksi dengan metode dan hukum yang jauh lebih pasti. Selain itu, cara penghitungan tersebut juga akan membawa banyak kegunaan dalam penanggalan di hari-hari lainnya.
Seolah memang ada semacam kontradiksi. Kalau memang isi Alquran memerintahkan penghitungan dalam menetapkan penanggalan, mengapa pula Nabi menjalankan metode mellihat bulan?
Dalih yang digunakan untuk menjelaskan hal itu adalah Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Menurut hadis itu, Rasulullah mengatakan, ”Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. (Usia) bulan itu adalah demikian-demikian, yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”.
Alasan itulah yang kemudian menjadi pegangan Muhammadiyah untuk memakai metode hisab dalam penentuan penanggalan Hijriah. Sebaliknya, NU merasa perlunya meneladani apa yang dicontohkan Nabi.
Lantaran perbedaan metode itu, ketidaksamaan dalam penetapan awal-akhir Ramadhan serta hari raya pun kerap terjadi antara dua ormas tersebut. Sejauh ini, masyarakat masih bisa menerima adanya perbedaan itu. Banyak yang berujar, bahwa perbedaan adalah sunatullah dan rahmat, oleh karenanya itu tetap harus disyukuri.
Sepenuhnya saya setuju dengan pernyataan itu. Namun saya yakin, adanya persamaan dalam penetapan awal-akhir Ramadhan dan hari raya di antara ormas-ormas Islam akan jauh lebih membawa rahmat dan rasa syukur yang besar pada seluruh komponen masyarakat atau umat.
Dengan demikian, langkah Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, untuk menjajagi upaya penetapan penanggalan Hijriah antara NU dan Muhammadiyah layak mendapat dukungan. Tentu ini tak dimaksudkan untuk menafikan keberadaan ormas Islam lainnya. Pentingnya keberadaan dua ormas Islam itu, sudah barang tentu terkait erat dengan besarnya keanggotaan mereka.
Hal yang lebih melegakan lagi, kedua belah pihak --NU dan Muhammadiyah-- telah menyalakan sinyal berupa lampu hijau atas gagasan menteri agama tersebut. Kedua ormas itu tampaknya sudah siap untuk duduk bersama demi mengemban amanah umat.
Selain pemerintah, mungkin perlu ada pihak lain yang netral dan secara intensif dilibatkan dalam proses penyamaan pandangan. Saya pun percaya, ini sangat tidak mudah. Namun, saya pun yakin, kedua belah pihak bisa menekan ego untuk tidak merasa paling benar. Kedewasaan berpikir di kedua belah pihak ormas tersebut menjadi jaminan, bahwa mereka akan bisa saling menghargai demi mencari jalan keluar yang lebih membawa kemaslahatan bagi umat.
Sejatinya, umat juga jenuh bila terus-menerus melihat perbedaan itu. Padahal, fonomena alam yang terjadi adalah satu dan senantiasa berulang dalam satu tempat yang sama pula.
Masyarakat tak menuntut, bahwa penyamaan pandangan dalam penyusunan penanggalan Hijriah itu bisa tercapai dalam beberapa kali pertemuan atau diskusi. Bahkan, mungkin dalam rentang satu tahun pertama pun bisa jadi belum ada kesepakatan.
Andaikan sampai setahun belum juga tercapai kesepakatan, maka seyogianya tim atau forum itu tak lantas dibubarkan. Tim itu harus tetap ada sampai pembahasan secara detail dan mendalam terjadi. Jika tahun ini belum ada kata sepakat, diskusi perlu dilanjutkan untuk tahun-tahun berikutnya.
Kerendahan hati para pimpinan kedua ormas itu akan menjadi jaminan juga, bahwa dalam diskusi itu akan selalu ada jalan keluar terbaik. Saya membayangkan, awal dan akhir dari diskusi tentang penanggalan Hijriah ini akan ditandai dengan senyum mengembang dari bibir para petinggi kedua ormas tersebut.
Masyarakat tak ingin peristiwa sidang isbat (penetapan) untuk menentukan Idul Fitri 2012 kembali terjadi. Saat itu Muhammadiyah keluar dari persidangan lantaran merasa suaranya tak didengar pemerintah.
Jika di awal kita merasa apa yang digagas menteri agama ini suatu berita yang sejuk, maka kita pun berharap hal itu diakhiri dengan kesejukan pula. Ya, kami ingin berita baik ini terus bergulir sehingga ketika diumumkan, hasilnya terasa sejuk dan mak nyes di hati.