Senin 28 May 2018 17:10 WIB

Jejak Politik dalam THR dan Gaji ke-13 PNS

Pejawat suka menelurkan kebijakan populis jelang pemilu dan pilpres.

 Pegawai Negeri Sipil (PNS) mengikuti Halal Bihalal di halaman kantor Kemendagri, Jakarta, Senin (3/7).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Pegawai Negeri Sipil (PNS) mengikuti Halal Bihalal di halaman kantor Kemendagri, Jakarta, Senin (3/7).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Andri Saubani*

Pemerintah menyiapkan dana sebesar Rp 35,76 triliun untuk pembayaran tunjangan hari raya (THR) serta gaji, pensiun, dan tunjangan ke-13 pada 2018 yang akan dibayarkan secara bertahap pada awal Juni dan Juli. Jumlah dana yang disiapkan untuk aparatur sipil negara, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), pejabat negara maupun para pensiunan dan penerima tunjangan ini naik 68,92 persen dibandingkan pada 2017.

Rincian dari pembayaran THR serta gaji, pensiun dan tunjangan ke-13 adalah THR gaji sebesar Rp 5,24 triliun, THR tunjangan kinerja sebesar Rp 5,79 triliun  dan THR pensiun sebesar Rp 6,85 triliun. Khusus untuk THR tunjangan kinerja dan THR pensiun, adalah kebijakan baru dari pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Selain itu, gaji ke-13 sebesar Rp 5,24 triliun, tunjangan kinerja ke-13 sebesar Rp 5,79 triliun dan pensiun maupun tunjangan ke-13 sebesar Rp 6,85 triliun.

THR maupun gaji ke-13 pada 2018 untuk aparatur pemerintah dibayarkan sebesar gaji pokok, tunjangan umum, tunjangan keluarga, tunjangan jabatan, dan tunjangan kinerja. Sementara itu, THR maupun pensiun ke 13 untuk pensiun juga dibayarkan sebesar pensiun pokok, tunjangan keluarga dan atau tunjangan tambahan penghasilan.

Jumlah uang yang akan diterima PNS jelang Lebaran tahun ini akan bertambah, lantaran sebelumnya, pada 2017, THR hanya diberikan kepada aparatur pemerintah sebesar gaji pokok tanpa tunjangan. Secara keseluruhan, pembayaran aparatur negara pusat dan pensiun bersumber dari dana APBN 2018, sedangkan pembayaran untuk aparatur negara daerah bersumber dari APBD. Menurut Badan Pusat Statistik, jumlah PNS pusat dan daerah per Desember 2016 adalah 4,4 juta.

Tidak hanya PNS, pemerintah juga menyiapkan THR kepada pegawai honorer atau kontrak pada Juni 2018 dengan alokasi dana sebesar Rp 440,38 miliar. Pegawai honorer yang bekerja di instansi pusat seperti sekretaris, satpam, pengemudi, petugas kebersihan, dan pramubhakti siap-siap mendapatkan tambahan honor sebesar satu bulan sebagai THR. Untuk PNS di daerah, THR untuk para pekerja kontrak disesuaikan dengan kebijakan dan kemampuan setiap pemerintah daerah.

Kebijakan pemerintah menaikkan anggaran THR dan gaji ke-13 PNS ini menarik ditilik dari dua dimensi, yakni ekonomi dan politik. Dari sisi ekonomi, pemerintah pastinya berharap pembayaran gaji ke-13 dan THR tahun ini bisa menyumbang sektor riil dan ekonomi Tanah Air. THR dan gaji yang akan diterima PNS secara beruntun dan dibelanjakan pada masa libur Lebaran bisa meningkatkan pertumbuhan konsumsi masyarakat.

Apalagi, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada kuartal I 2018, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,95 persen. Secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi tercatat 5,06 persen. Berdasarkan hitung-hitungan lembaga ekonomi INDEF, pertumbuhan konsumi pada kuartal II 2018 bisa tumbuh antara 5-2 sampai 53 persen jika setiap penerima THR dan gaji-ke 13 membelanjakan uangnya.

Sebagai salah satu penyumbang utama PBD Indonesia, peningkatan konsumsi rumah tangga sangat menentukan. Oleh karena itu, pemerintah tentunya tidak menginginkan jika para PNS kemudian hanya menyimpan uang THR dan gaji ke-13 mereka di bank.

Jika uang THR dan gaji ke-13 hanya ditabung di bank, ‘sia-sialah’ upaya pemerintah mendongkrak pertumbuhan ekonomi dari sektor konsumsi. Padahal, kebijakan ini sebagian dibiayai dari utang. Utang yang digunakan untuk belanja non-produktif.

Dari sisi politik, kebijakan pemerintah khususnya Jokowi adalah suatu kebijakan populis. Fenomena jamak pada tahun politik atau jelang pemilu dan pilpres, pejawat menelurkan kebijakan populis yang bisa langsung menyentuh kepentingan para calon pemilih.

Pada 2008 silam, atau setahun jelang Pilpres 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun pernah menaikkan gaji PNS sampai 20 persen. Persentase kenaikan itu yang terbesar dalam sejarah bahkan sejak era Orde Baru.

Jumlah 4 juta PNS dalam konteks politik praktis seperti pemilu tentunya siginifikan.  Sebagai abdi negara, PNS adalah memiliki pengaruh di lingkungan sekitar atau dalam spektrum terkecil, yakni keluarga. Ketika seorang PNS merasakan kebijakan populis pejawat bermanfaat dalam kehidupannya, bisa jadi pengaruh itu akan ‘dipromosikan’ kepada orang lain.

Sebagai incumbent yang sudah memastikan maju kembali pada Pilpres 2019, Jokowi dihantui oleh beragam permasalahan ekonomi. Yang paling mengkhawatirkan tentunya ancaman melambungnya inflasi yang berujung pada krisis daya beli masyarakat.

Seperti diketahui, harga minyak dunia saat ini yang telah mencapai 80 dolar AS per barel telah jauh melampaui asumsi makro APBN, 48 dolar AS per barel. Ditambah lagi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus loyo. Sampai kapan pemerintah kuat menahan harga pasaran BBM sesuai dengan daya beli masyarakat? Waktu yang akan menjawabnya.

Sejak subsidi listrik beragam golongan daya dicabut sejak 2015, tarif listrik pun berfluktuasi mengikuti harga energi di pasar dunia. Bisa jadi, kenaikan anggaran THR dan gaji ke-13 PNS sebagai antisipasi agar para calon pemilih tak semakin menurun daya belinya akibat pendapatan yang habis dikonsumsi hanya untuk membeli atau membayar biaya operasional seperti bensin dan tagihan listrik.

Semua angka dan hitung-hitungan di atas pastinya juga telah ditakar oleh lawan-lawan politik Jokowi. Sehingga, ketika pemerintah pekan lalu mengumumkan kebijakan kenaikan anggaran THR dan gaji ke-13 PNS, elite politik Gerindra dan PKS langsung ‘menyerang’ dengan menilai Jokowi sebenarnya bukan bertujuan meningkatkan pendapatan PNS, melainkan sedang mempertahankan citra politis setahun jelang pilpres.

Tinggal bagaimana para PNS menyikapi kebijakan Jokowi menaikkan ‘sedikit’ pendapatan mereka jelang Lebaran tahun ini. Di luar konteks politik, masyarakat non-PNS pun berhak menuntut standar terbaik dalam pelayanan publik. Birokrasi harus bersih dari korupsi dan PNS mampu membantah cibiran, salah satunya yang pernah dinyatakan Pramoedya Ananta Toer, “Keinginan menjadi pegawai negeri adalah salah satu faktor kenapa korupsi mustahil diberantas. Di birokrasi itulah korupsi itu merajalela. Orang suci pun bisa jadi korup di sana.” 

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement