REPUBLIKA.CO.ID, oleh Esthi Maharani*
Saya dulu pernah bertanya-tanya dan heran betapa royalnya Indonesia pada negara lain. Indonesia dengan mudahnya memberikan bantuan dengan nominal yang terbilang tak sedikit.
Pertanyaan saya sangat sederhana. Misalnya, ngapain sih kita bantuin negara lain, kan kita juga kekurangan? Uangnya darimana sih bisa nyumbang sebesar itu? Lho, kita punya uang sebanyak itu ya? dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Tetapi, suatu ketika saya bungkam ketika langsung menanyakan perihal itu pada Wakil Presiden Jusuf Kalla. Saya lupa kapan percakapan singkat itu terjadi, tapi percakapan itu berkesan hingga sekarang.
JK dengan sederhana menjelaskan Indonesia selamanya berutang budi pada negara-negara lain. Ketika Aceh dilanda gempa-tsunami pada 2004, banyak negara datang dan memberikan bantuan. Apalagi Indonesia masih gagap menangani bencana besar. Hampir semua infrastruktur hancur, dana darurat tak punya, sampai badan yang menangani bencana pun belum terbentuk. Jangan lupa masih adanya konflik politik dan keamanan dengan GAM menambah kompleksitas penanganan gempa-tsunami Aceh.
Setelah Aceh mulai bangkit, Indonesia pun memahami kondisi bencana tidak akan pernah mudah dihadapi suatu negara. Maka, ketika ada bencana di negara lain, Indonesia hampir dipastikan memberikan sumbangan, baik dalam bentuk dana, logistik, bahkan relawan.
Kini, bencana serupa kembali di Indonesia. Gempa 7,4 Skala Richter (SR) mengguncang Donggala, Sulawesi Tenggara pada Jumat (28/9) petang. Gempa itu memicu rentetan kejadian seperti Tsunami setinggi 1,5 meter di Palu, Sulawesi Tengah dan hancurnya beberapa mal, tempat ibadah dan rumah.
Masyarakat internasional merespons bencana tersebut dengan luar biasa. Banyak pimpinan negara menyampaikan duka cita, tak jarang langsung memberikan pernyataan akan membantu dan memberikan sejumlah dana.
Ada puluhan negara yang disebut siap membantu menangani gempa-tsunami Palu. Negara-negara tersebut yakni Amerika Serikat, Prancis, Ceko, Swiss, Norwegia, Hongaria, Turki, Uni Eropa, Australia, Korsel, Arab Saudi, Qatar, New Zealand, Singapura, Thailand, Jepang, India, dan Cina.
Tercatat, hingga kini sudah ada 29 negara dan empat badan kemanusiaan yang menawarkan bantuan. Namun hanya 17 negara yang sesuai dengan kebutuhan pemerintah Indonesia yang sudah ditetapkan.
"Ungkapan belasungkawa dan tawaran bantuan dari para sahabat itu sungguh membesarkan hati kita, juga memberi pesan kuat bahwa kita tidak sendirian menghadapi masa-masa sulit ini. Terimakasih," kata Presiden Jokowi.
Meski begitu, bantuan yang diberikan tetap harus diseleksi. Bahkan sah-sah saja menolak jika dianggap tidak efektif dan efisien, atau terlalu sensitif di situasi pascagempa. Hari-hari pertama setelah tsunami terjadi, Indonesia menolak permintaan pendaratan dari satu penerbangan internasional yang mengantarkan bantuan di Bandara Palu. Indonesia juga menolak bantuan Amerika Serikat yang hendak mengirimkan kapal rumah sakit karena tidak efektif membantu korban. Pengalaman di Aceh dulu, hanya lima orang yang mau naik kapal rumah sakit.
Bukan Indonesia sombong dengan menolak bantuan-bantuan yang ditawarkan, melainkan skala prioritas harus menjadi tujuan utama. Untuk masa tanggap darurat, Indonesia masih memiliki kekuatan pasukan dan logistik yang memadai. Ini pun untuk membuktikan bahwa Indonesia adalah negara berdaulat yang bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.
Sementara bantuan asing, memang akan difokuskan pada dua hal. Pertama rehabilitasi. Kedua, rekonstruksi. Yang perlu diingat, kedua tahapan itu tidak terjadi dalam waktu yang singkat. Wakil Presiden, Jusuf Kalla memperkirakan masa tanggap darurat bisa mencapai 2 bulan, sedangkan rehabilitasi diperkirakan memakan waktu dua tahun.
Bencana, apa pun bentuknya tidak pernah mudah untuk dilalui. Terlebih bencana yang memiliki dampak destruktif yang besar seperti tsunami. Harus disadari, ini pekerjaan yang membutuhkan kesabaran dan kerja keras serta kerja sama yang solid antara pemerintah dan masyarakat. Harus dipastikan para korban benar-benar bisa kembali berdiri di kakinya sendiri.
Saya pun harus angkat topi dengan masyarakat Indonesia yang tak kalah cepat merespons bencana-bencana di tanah air dengan mengirimkan berbagai bantuan. Kompak dan serempak, masyarakat Indonesia bergerak. Posko-posko donasi bermunculan, pengiriman bala bantuan dilakukan hampir seantero negeri, relawan mengantre untuk bisa diberangkatkan ke lokasi, bahkan shalat ghoib pun dilakukan untuk mendoakan para korban.
Saya jadi teringat pernyataan Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono setiap membicarakan tsunami Aceh ke publik.
"Banyak saudara-saudara kita, termasuk anak-anak waktu musibah itu terjadi, yang telah kehilangan masa lalunya. Jangan biarkan mereka kehilangan masa depannya. Mari kita peduli dan berbagi kepada mereka, agar mereka memiliki masa depan yang baik"
Maka, sudah seharusnya, kita memastikan mereka tidak sendirian dan masih mempunyai masa depan.
*) Penulis adalah redaktur republika.co.id