REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fernan Rahadi*
"Sejak dini, bekali anak-anak dengan ilmu-ilmu kehidupan. Karena pada usia tersebut, anak-anak lebih mudah menyerap. Mereka natural, bukan artificial."
Kutipan tersebut saya ambil dari buku karangan Rhenald Kasali berjudul 'The Great Shifting'. Dalam buku tersebut, pakar manajemen perubahan dari Universitas Indonesia (UI) itu memaparkan disrupsi yang tengah terjadi di era internet ini ini juga 'mengganggu' dunia pendidikan, selain bidang-bidang lain sebut saja kesehatan, kebudayaan, dan dunia bisnis.
Prof Rhenald seolah ingin membaca masa depan bahwa skill yang dibutuhkan di masa depan tak lagi berkutat pada ilmu pengetahuan. Karena kemampuan manusia untuk menyimpan pengetahuan dalam memori mereka tak akan bisa menyaingi Artificial Intelligence (AI) yang ke depan bakal kian canggih. Karena itu, menurut dia, anak-anak kita saat ini harus dibekali ilmu-ilmu kehidupan.
Anak-anak kita saat ini harus dibekali skill yang tidak bisa digantikan oleh robot (AI). Karena menurut data Mckinsey Global Institute, pada tahun 2030 nanti sebanyak 800 juta orang akan kehilangan pekerjaannya karena akan digantikan oleh robot.
Terdapat 10 kemampuan yang harus dimiliki untuk menghadapi revolusi industri 4.0 (World Economic Forum) di antaranya adalah kemampuan memecahkan masalah kompleks, kemampuan berpikir kritis, kreativitas, manajemen manusia, kemampuan berkoordinasi, kecerdasan emosional, kemampuan mengambil keputusan, dan kemampuan negosiasi.
Sudahkah dunia pendidikan di Indonesia mempersiapkan anak-anak dengan skill-skill seperti di atas? Menurut pendapat saya, hal itu sudah dilakukan. Namun oleh deretan sekolah-sekolah kaya atau sekolah-sekolah yang berada di wilayah perkotaan.
Hal ini juga sempat disinggung Prof Rhenald yang mengatakan dunia pendidikan kita cenderung diskriminatif, dimana terdapat berbagai strata sekolah seperti sekolah elite, sekolah rakyat, yang kemudian bercabang lagi menjadi kelompok pintar, kelompok bodoh, dan lain sebagainya.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) contohnya, sudah banyak sekolah yang tidak lagi menerapkan standarisasi nilai sebagai acuan utama kelulusan. Hanya saja, perlu digarisbawahi sekolah-sekolah tersebut merupakan sekolah berbiaya mahal yang terletak di pusat kota. Bagaimana dengan sekolah-sekolah miskin yang terletak jauh dari kota? Rasa-rasanya masih jauh panggang dari api.
Hal itulah yang saat ini sedang dirintis dua dosen Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Nur Rizal dan Novi Poespita Candra. Melalui sebuah gerakan akar rumput bernama Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), pasangan suami-istri itu berupaya mematahkan anggapan bahwa sistem sekolah menyenangkan juga bisa diterapkan di sekolah-sekolah non favorit yang terletak di pinggiran.
Sejak diluncurkan dua tahun yang lalu, GSM sudah menyebar ke ratusan sekolah pinggiran, utamanya berada di wilayah-wilayah DIY seperti Sleman, Kulonprogo, dan Gunungkidul. Bahkan dengan bantuan pihak swasta gerakan akar rumput ini juga sukses merambah wilayah-wilayah lain seperti Semarang, Temanggung, Kabupaten Tangerang, dan Tangerang Selatan.
Dengan menerapkan empat prinsip utama, yakni learning environment, pedagogical practice, character development, dan school connectedness, GSM yakin konsepnya merupakan jawaban dari tantangan dunia pendidikan saat ini. Bahwasanya, tanpa biaya mahal pun sebuah sekolah bisa melahirkan anak-anak yang siap menyongsong masa depannya dengan dilengkapi skill-skill yang dibutuhkan pada era industri 4.0.
Konsep-konsep semacam ini sudah seharusnya digandeng pemerintah, baik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) maupun pemerintah-pemerintah daerah. Mengingat di era disrupsi berbagai persoalan di dunia pendidikan tidak mungkin bisa diselesaikan sendiri oleh pemegang kebijakan, namun harus diatasi dengan cara berkolobarasi dengan berbagai gerakan yang lahir dari akar rumput.
Selain itu, persoalan diskriminasi dalam pendidikan sudah seharusnya juga dikikis dalam-dalam. Karena terdapat prediksi Indonesia akan mendapatkan bonus demografi pada kurun waktu 2030-2040 mendatang dimana jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan lebih besar dari jumlah penduduk usia non-produktif. Bagaimana Indonesia akan menjadi negara yang produktif saat itu jika yang bisa menikmati pendidikan berkualitas saat ini hanya anak-anak orang kaya saja?
*Redaktur Republika kantor perwakilan DIY-Jateng