Jumat 07 Jun 2019 09:11 WIB

Rindu dalam Seikat Buras

Seorang ibu bisa ngobrol banyak dengan anaknya, saat mengikat buras.

 Andi Nur Aminah
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Andi Nur Aminah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andi Nur Aminah*

"Setinggi apapun sekolahmu, pulanglah mengikat buras!" Lima hari menjelang Idul Fitri, hingga Hari Raya itu tiba, sederetan kalimat ini berseliweran di linimasa media sosial saya. Entah siapa pencetus kalimat ini pertamakalinya. Saya pun senyam-senyum membacanya. Dalam hati saya membatin, banyak yang 'kena' nih.

Kalimat singkat itu telah memunculkan kerinduan. Bagi perantau, terutama warga Bugis Makassar seperti saya, mengikat buras akan memunculkan memori, kenangan, kebersamaan, kesyahduan, yang sulit terkatakan.

Buras atau burasa, adalah makanan khas warga Sulawesi, khsusunya di Sulawesi Selatan. Mungkin di daerah lain, makanan ini juga ada yang serupa namun namanya berbeda. Buras, terbuat dari beras yang dimasak setengah matang dengan cara diaron bersama santan. Tambahan santan dan sedikit garam, membuat rasa buras ini menjadi gurih.

Beras yang sudah diaron, kemudian dibungkus daun pisang dan dibentuk seperti model bantal, persegi panjang. Beras berbumbu santan dalam daun pisang ini kemudian diikat serapi mungkin sehingga terasa padat. Kadang kala, dua atau tiga tangkup buras diikat menjadi satu, setelah itu direbus sekitar empat jam lamanya.

Tak semua orang bisa mengikat buras. Jika tak mahir, model buras bisa berubah bentuk. Atau yang paling kacau, daun pisang pembungkusnya bisa sobek, hingga beras yang didalamnya jadi keluar dan berantakan.

Di sinilah seni dan romansa mengikat buras. Secara turun temurun, mengikat buras menjelang Hari Raya Idul Fitri juga bisa membangkitkan kenangan bagi seseorang. Tak jarang, seorang ibu bisa ngobrol banyak dengan anaknya, saat moment mengikat buras.

Penghuni satu rumah bisa berkumpul di kawasan dapur, berbagi cerita dan canda sambil bersama-sama mengikat buras. Momen sederhana namun membahagiakan. Jika mengingat itu, siapalah yang tak rindu untuk segera angkat koper dan pulang ke kampung halaman?

Kawan saya, seorang doktor, pun ikut-ikutan mengunggah kalimat "pulanglah mengikat buras" pada H-1 Idul Fitri. Unggahannya itu mengundang respons lebih dari 200 komentar. Apalagi, dia menyertakan fotonya sedang mengikat buras bersama sang istri.

Dia mengaku, kalimat yang tiba-tiba viral itu memang menohok. "Betul ini, saya merasakan sendiri, karena memang rasanya tidak afdal berlebaran jika tak ada buras, dan saat mengikatnya itu selalu memunculkan kenangan. Jujur, saya teringat pada almarhum ibu. Ikatan buras ini membangkitkan kerinduan," kata kawan saya.

Beragam jenis makanan khas saat Idul Fitri memang tak jarang punya romansa tersendiri. Setiap orang yang mudik, hampir pasti merindukan kuliner khas daerahnya masing-masing. Silaturahim antar keluarga, tetangga, kawan-kawan dan handai taulan selalu meriah dan lengkap dengan kulinernya.

Yang tak mudik pun, punya cara tersendiri untuk membangkitkan kenangan indah dan berbagi kebahagiaan di hari yang fitri. Jika tak bisa membuatnya sendiri, ada yang bela-belain mendatangkan kokinya dari kampung untuk meracik segala hidangan yang dirindukan.

Contohnya, Menkopolkan Wiranto. Saat lebaran tiba, dia menggelar open house di rumahnya dengan sajian menu spesial dari kampung halamannya, Solo. Ada nasi liwet, tengkleng, gulai, sate, kare, dan kupat tahu.

Wiranto menyebut, koki yang memasak hidangan itu datang naik bus dari Solo. Setelah tugasnya menghidangkan makanan kelar, koki yang bertahun-tahun jadi langganan Wiranto itu kembali lagi ke Solo pada sore harinya.

Wiranto berjanji pada kerabat dan sanak saudara, setiap Idul Fitri akan membuka rumah untuk bersilaturahim. Dan dia akan mendatangkan makanan khas dari kampung halamannya. Dia menyebut menu makanan di rumahnya berbeda dengan menu dari jasa katering di Jakarta. Rasanya Solo asli.

Satu hal yang dirindukan saat pulang kampung di momen lebaran adalah kuliner. Karena tak jarang, makanan yang disajikan itu, hanya dibuat khusus saat lebaran tiba.

Maka pepatah makan tak makan yang penting kumpul sepertinya kadang harus dinafikan. Karena saat kumpul keluarga, bermaaf-maafan, berbagi cerita, melepas rindu setelah bertahun-tahun tidak bertemu, menjadi lebih meriah dan lengkap dengan adanya makanan khas yang juga dirindukan.

Karena makanan itu pun punya cerita, punya romansa berbeda-beda bagi setiap orang. Tak terkecuali kacang bawang atau kerupuk melarat sekalipun. Selamat Idul Fitri, dan selamat melepas rindu pada kuliner kampung halaman.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement