REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Nurul S Hamami, Wartawan Senior Republika
Owi-Butet –panggilan sehari-habri Tomtowi Ahmad-Liliyana Natsir—memang belum ada penggantinya. Sejak Butet gantung raket seusai Indonesia Masters 2019 pada Januari lalu, belum ada lagi penggantinya di pelatnas yang sudah bisa diandalkan untuk merebut gelar di turnamen-turnamen internasional. Tak terkecuali di Kejuaraan Dunia yang sedang berlangsung di Basel, Swiss, pekan ini.
Praveen Jordan/Melati Daeva Otavianti yang menjadi tumpuan terakhir di Basel, Kamis (22/8) malam tak bisa berbuat banyak. Mereka harus mengakui keunggulan pasangan Belanda Robin Tabeling/Selena Piek 13-21, 23-21, 8-21, dalam perjalanan menuju perempat final. Sekitar dua jam sebelumnya, Hafiz Faisal/Gloria Emanuelle Widjaja lebih dulu tumbang di tangan unggulan pertama asal Cina Zheng Si Wei/Huang Ya Qiong 17-21, 12-21.
Owi-Butet: Pasangan ganda campuran, Tontowi Ahmad (Owi) dan Liliyana Natsir (Butet) bersama Erick Thohir
Dua wakil lainnya dari Indonesia yakni Rinov Rivaldy/Pitha Haningtyas Mentari dan Ronald/Anisa Saufika sudah lebih dulu tersingkir. Tabeling/Piek juga yang mengandaskan Ronald/Anisa di babak pertama. Sedangkan, Rinov/Pitha –juara dunia junior 2017—gugur di babak kedua setelah menyerah kepada unggulan ketiga dari Jepang Yuta Watanabe/Arisa Higashino 13-21, 21-19, 16-21.
Padahal, PBSI menargetkan setidaknya ada salah satu pasangan yang menginjakkan kakinya ke semifinal. “Jelas untuk Praveen/Melati dan Hafiz/Gloria, harapan saya bisa ke semifinal. Peluangnya yang lebih besar ada di Praveen/Melati saya lihat. Untuk Hafiz/Gloria mereka harus berjuang keras, karena di babak 16 besar ketemu unggulan satu Cina, Si Wei/Ya Qiong,” kata pelatih pelatnas ganda camuran PBSI, Richard Mainaky, seperti dikutip laman resmi PBSI.
“Untuk pemain muda, Rinov/Mentari semoga bisa membuat kejutan. Saya lihat penampilan mereka cukup stabil, sudah bisa mengatasi pemain yang di atasnya. Sementara Ronald/Annisa saya harapkan bisa tampil baik. Dengan mereka terpilih untuk main di Kejuaraan Dunia, mereka harus lebih percaya diri dan bisa membuktikan bahwa mereka pantas dipilih,” ujar Richard.
Persiapan jelang pertandingan empat pasangan tersebut pun dinilai Richard sudah cukup baik. Beberapa tambahan yang diberikan pada saat persiapan, disesuaikan dengan kebutuhan para atletnya. Tapi, apa mau dikata, nyatanya tak ada yang bisa mencapai babak empat besar.
Owi-Butet menjadi pasangan Indonesia yang kali terakhir merebut gelar juara dunia ketika berlangsung di Glasgow, Skotlandia, 2017. Empat tahun sebelumnya pasangan ini juga merebut gelar juara dunia di Guangzhou, Cina. Keduanya juga melengkapi gelarnya dengan merebut medali emas Olimpiade Rio De Janeiro 2016.
Selain itu, Owi-Butet juga mencetak hattrick juara di All England pada 2012, 2013, dan 2014. Khusus Butet, jauh sebelumnya juga sudah mencicipi gelar juara dunia pada 2005 dan 2007 ketika berpasangan dengan Nova Widianto.
Setelah tak ada Owi-Butet, Indonesia memang miskin gelar di turnamen-turnamen internasional. Pemain-pemain pelatnas hanya spesialis finalis dan semifinalis saja. Jordan/Melati yang kini berperingat 6 dunia hanya menjadi finalis di India Terbuka dan Australia Terbuka. Rinov/Pitha finalis di Swiss Terbuka. Sementara, Hafiz/Gloria semifinalis di India Terbuka, Singapura Terbuka, dan Jepang Terbuka.
Pekerjaan rumah besar bagi Richard untuk membenahi sektor ganda campuran agar bisa menyamai prestasi yang sudah diukir oleh Owi-Butet. Saat ini ada dua pasangan yang diprioritaskan untuk lolos kualifikasi Olimpiade Tokyo 2020 yakni Jordan/Melati dan Hafiz/Gloria.
Masih ada waktu setahun untuk melakukan persiapan yang spartan, baik teknik maupun fisik. Basel memberikan pelajaran kepada kedua pasangan untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama ketika sudah berhadapan dengan lawan dalam atmosfer pertandingan bertensi tinggi.
Pemain-pemain muda di bawah Jordan/Melati dan Hafiz/Gloria juga harus mendapat perhatian menyeluruh dari Richard. Mereka harus lebih banyak dikirim ke turnamen-turnamen internasional, setidaknya yang berkelas 150 ribu dolar AS di mana persaingan belum terlalu ketat.
Di turnamen-turnamen level tersebutlah pemain-pemain muda mesti dimatangkan sebelum akhirnya diterjunkan ke turamen-turnamen yang kelasnya lebih tinggi dan diikuti oleh para pebulu tangkis elite dunia.