REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Subroto Kardjo, Redaktur Pelaksana Republika
Tiba tiba aku rindu pada kota kelahiranku, Sawahlunto. Kota di pedalaman Sumatra Barat itu berjarak hampir 100 km dari Kota Padang. Kota penghasil batubara sejak zaman Belanda itu kini berubah menjadi kota wisata. Namun bukan batubara dan wisata tambang yang membuat aku tiba-tiba kangen kota kecilku.
Aku dengan bangga bisa menyebut diri anak Sawahlunto. Padahal aku bukan orang Minang. Anak-anak lainnya, orang Minang, Sunda, Batak, Ambon, Cina, keturunan Belanda, Jerman dan sebagainya juga sama, Mereka yang tinggal di Sawahlunto menjadi orang Sawahlunto.
Pengunjung memegang bongkahan batu bara yang ada di Museum Tambang Ombilin, Sawahlunto.
Selain berbahasa Indonesia dan bahasa Minang, kami biasa berbahasa dengan dialek lokal khas Sawahlunto. Namanya bahasa Tangsi. Itu bahasa Indonesia yang sudah bercampur dengan bahasa-bahasa suku-suku yang ada di sana.
Mayoritas penduduk kota beragama Islam. Hanya sedikit beragama lain. Tapi di tengah kota berdiri dua buah gereja besar. Tak pernah ada masalah dari dulu. Kami hidup damai-damai saja.
Suku Minang sebagai penduduk asli sangat menghargai para pendatang. Para pendatang pun tahu diri. Dulu waktu aku masih kecil ada tetangga orang asal Jawa bertengkar dengan orang Minang. Orang Minang memisahkan orang Minang sambil bilang: "Kita ini tuan rumah, jadi harus menghargai tamu".
Orang Jawa memisahkan temannya yang orang Jawa sambil menasehati: "Kita ini menumpang di sini, jadi harus tahu diri". Itu mungkin resep rukun antarsuku. Semua saling menghormati dan menjaga.
Pengunjung duduk di depan kantor PT Bukit Asam yang merupakan gedung cagar budaya, di Sawahlunto.
Perkawinan antarsuku sudah menjadi hal yang biasa. Orang Minang menikah dengan orang Jawa, Minang dengan Sunda, Jawa dengan Sunda, Jawa dengan Ambon, Sunda dengan Batak, dan seterusnya. Banyak anak-anak yang bingung jika ditanya sukunya apa. Yang pasti mereka adalah Anak Sawahlunto.
Budayanya pun menjadi kaya. Cobalah sesekali datang ke Sawahlunto. Kita biasa melihat pertunjukan randai, saluang, kuda kepang, atau barongsai. Bahkan Festival Wayang Nasional digelar di kota ini. Sawahlunto tak ubahnya seperti Indonesia mini.
Suasana kota yang dikelilingi bukit itu sungguh nyaman. Berada di Sawahlunto jam seakan melambat berjalan. Sebuah majalah berita di Jakarta pernah memilihnya sebagai kota yang paling layak ditinggali di Indonesia.
Suasana lansekap kota Sawahlunto, terlihat dari Puncak Cemara.
Aku membayangkan Indonesia itu seperti Sawahlunto. Semua suku ada tapi semua orang menjadi Anak Sawahlunto, orang Sawahlunto. Tak pernah ada pertikaian karena SARA, dari dulu sampai sekarang. Mudah-mudahan selamanya.
Indonesia itu bersuku-suku, seharusnya semua merasa jadi orang Indonesia. Namun hari-hari ini rasanya kesukuan itu lebih mengental daripada keindonesiaan kita.
Mungkin kita perlu belajar ke Sawahlunto untuk bisa menjadi orang Indonesia.
Tiba-tiba aku rindu Sawahlunto.