REPUBLIKA.CO.ID, oleh Muhammad Hafil*
Sebenarnya, saya meyakini bahwa kurikulum madrasah selama ini tak pernah mengajarkan radikalisme dalam kegiatan belajar dan mengajarnya. Keyakinan saya diindikasikan dengan tidak pernah terdengarnya lulusan madrasah yang pernah terlibat dalam aksi-aksi terorisme.
Selain itu, dalam pergaulan sehari-hari, saya memperhatikan sejawat saya, sejak masa sekolah belasan tahun lalu, hingga saat ini, tak terlihat gelagat radikalisme dari mereka yang masih bersekolah di madrasah maupun alumninya. Keyakinan saya ini diperkuat dengan pernyataan Kepala Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Kemenag, Prof Amsal Bakhtiar pada 2017 lalu. Di mana, dia memaparkan laporan tahunan terkait pendidikan agama dan keagamaan tahun 2016 yang dimuat di Republika.co.id pada 29 November 2017 dengan judul "Penelitian Kemenag: Madrasah Lebih Moderat Dibanding Sekolah".
Berdasarkan penelitian itu disebutkan, madrasah lebih moderat dibandingkan dengan di lembaga pendidikan lain (sekolah). Bahkan, menurut dia, pemahaman radikalisme di sekolah lebih tinggi dibandingkan madrasah. Karena, selama ini di sekolah-sekolah itu kurang mengajarkan Islam moderat. Berbeda dengan halnya di Madrasah, yang sejak awal telah mengajarkan siswanya tentang Islam moderat.
Ia mengatakan, guru-guru di madrasah dibekali dengan pemahaman keislaman yang moderat, sehingga madrasah bisa disebut sebagai lembaga pendidikan yang anti terhadap radikalisme. "Di madrasah dari awal mereka sudah diajarkan Islam yang moderat, yang rahmatan lil alamin. Itu sudah jadi bagian madrasah dan gurunya juga kita latih seperti itu," kata Amsal Bahtiar dalam artikel tersebut.
Menurut dia, munculnya pemahaman radikal di sekolah kemungkinan karena siswa terpengaruh oleh guru non-agama yang memang memiliki waktu lebih dominan untuk berinteraksi dengan siswa. Sementara, kata dia, guru agama di sekolah hanya memiliki waktu dua jam selama seminggu, sehingga pemahaman Islam kurang kuat.
Kesimpulannya menurut saya, kurikulum di madrasah masih aman dan tidak terpapar radikalisme. Meskipun, di dalam kurikulum madrasah sendiri dipelajari tentang materi-materi sejarah Islam seperti khilafah, perang, dan jihad. Setahu saya, pelajaran itu dimuat dalam mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI).
Saya, meski tidak pernah menuntut ilmu di madrasah, namun ketika saya SMP, yang merupakan sekolah Islam terpadu pada akhir 90-an dulu, juga mempelajari tentang sejarah khilafah, perang, dan jihad dalam mata pelajaran SKI. Saya ingat itu adalah buku untuk madrasah.
Dan, ketika saya pelajari itu, saya sama sekali tidak merasa terpapar paham radikalisme. Saya juga sama sekali tak terbesit dalam pikiran untuk mendukung aksi-aksi terorisme, apalagi terlibat di dalamnya.
Yang saya dapat dari pelajaran tentang khilafah, Islam, dan jihad, adalah murni ilmu pengetahuan. Di mana, sejarah perjalanan Islam memang faktanya tak lepas dari perang (baik di zaman nabi maupun sesudahnya), khilafah (khulaufaur rasyidin sampai dinasti Umayyah, Abassiyah, dan Turki Utsmani), maupun jihad.
Selebihnya, saya mengetahui dari pelajaran itu bahwa umat saat ini bisa memeluk Islam tak lepas dari ketiga perkara tersebut. Artinya, saya sangat menghormati perjuangan Nabi Muhammad, sahabat, dan generasi sesudahnya yang mempertahankan dan menyebarkan Islam. Meski kita selalu berpandangan bahwa Islam masuk ke Indonesia tidak dengan melalui jalur perang. Tetapi, Islam bisa bertahan sampai ratusan tahun setelah masa nabi tak lepas dari cara perang dan akhirnya bisa dipertahankan. Sehingga, yang dipertahankan itu disebarluaskan dengan cara damai ke Nusantara.
Namun, yang terjadi saat ini, justru ada keraguan tentang materi khilafah, jihad, maupun perang di kurikulum madrasah. Dan, yang menghawatirkan itu justru dari Kementerian Agama (Kemenag) sendiri yang merupakan instansi negara yang bertanggung jawab dalam pendidikan madrasah.
Artikel di Republika.co.id pada 10 Desember 2019 berjudul 'Kemenag Melunak soal Materi Khilafah-Jihad', dituliskan dalam KMA 183 Tahun 2019 memang masih disinggung soal kerajaan-kerajaan Islam terdahulu. Kendati demikian, yang diajarkan bukan soal penaklukan, melainkan capaian ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan masing-masing kerajaan, seperti Umayyah, Abbasiyah, Ayubiyah, hingga Turki Utsmani.
Dalam salinan KMA 183/2019 yang dikeluarkan pada masa jabatan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin memang sama sekali tak terdapat kata “khilafah” maupun “jihad”. Tak ada juga kata “perang” atau yang dalam bahasa Arabnya “gazwah”. Sebaliknya, moderasi menjadi tujuan pembelajaran di berbagai tingkatan.
Ini artinya, ada semacam kekhawatiran dari Kemenag soal materi-materi sejarah Islam yang menyinggung soal perang, jihad, maupun khilafah. Padahal sudah disebutkan tadi, sejauh ini tak terdengar adanya masalah lulusan madrasah atau pelajar madrasah yang belajar materi itu, terpapar radikalisme.'
Sehingga, jika sampai harus menghilangkan materi-materi khilafah, jihad, dan perang dalam kurikulum madrasah, saya rasa tidak bijak. Apalagi, jika alasannya adalah untuk mencegah paham radikal di madrasah.
Namun, jika pengaturan cara penyampaian pelajaran tentang ini, saya masih sepakat. Misalnya, mempelajari sejarah khilafah bukan berarti kita harus mendirikan khilafah. Karena, kita sudah sepakat dengan negara bangsa bernama Indonesia yang menganut ideologi Pancasila.
Atau, penyajian pelajaran tentang materi ini juga harus bijak dan larangan adanya memunculkan permusuhan dengan orang di luar Islam. Ini baru saya sepakat. Karena, setiap kita tetap harus menjunjung toleransi sesama anak bangsa meski berlainan agama.
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id