Oleh : Indira Rezkisari*
REPUBLIKA.CO.ID, Lockdown atau tidak lockdown. PSBB, AKB, PPKM, PPKM level mikro, desa tangguh, kampung tangguh. Sungguh membingungkan.
Sebelas bulan sudah menjalani pandemi, rakyat Indonesia seperti sudah tidak bisa berharap lagi. Segala indikator menunjukkan masyarakat terjebak dalam pandemi. Kasus positif Covid-19 masih bertambah dalam kisaran dua digit, meski bertahan di angka 10 ribu hingga 14 ribu.
Pertumbuhan ekonomi di kuartal IV 2020 masih minus, sama seperti kuartal II dan III di tahun lalu. Konsumsi rumah tangga yang menjadi penyokong utama perekonomian dalam negeri dipastikan masih anjlok.
Artinya, daya beli masyarakat rendah. Masyarakat yang masih memiliki pendapatan antara menahan diri untuk mengeluarkan uang dan memilih menabung, sedang masyarakat yang terkena imbas berupa penurunan pendapatan hingga PHK harus benar-benar cermat mengeluarkan uangnya.
Apalagi di tahun 2021 ini fokus pemerintah adalah menggelar vaksinasi. Dan untuk mewujudkannya, butuh uang yang tidak sedikit. Terutama setelah pemerintah mengumumkan akan menggratiskan vaksin bagi 180 juta masyarakat target vaksinasi.
Akibatnya, tahun ini bantuan subsidi upah tak ada lagi. Mereka yang bergaji di bawah Rp 5 juta tidak lagi mendapatkan bantuan dana segar Rp 600 ribu sebulan. Sejumlah insentif lainnya juga dipastikan dipotong jumlah atau angka penerimanya.
Kembali ke masalah lockdown atau tidak lockdown. Presiden Jokowi memang sudah jelas sejak awal pandemi mengatakan tidak pernah memikirkan opsi melakukan lockdown. Lockdown versi pemerintah sudah cukup dilakukan dengan PSBB seperti pada tahap awal.
Hampir setahun setelahnya, saat kasus sudah mencapai 1 juta orang, kebijakan yang lebih ketat juga tidak pernah diupayakan. PPKM misalnya, siapa saja bisa merasakan PPKM seperti tidak ada rasanya. Hanya restoran yang tutup lebih cepat, sebagian orang juga diharuskan kembali kerja di rumah karena kantornya harus patuh aturan, ditambah mal dan transportasi umum di Jakarta yang beroperasi tidak maksimal seperti sebelum pandemi.
Hanya kebijakan itu yang dijalankan. Upaya utamanya seperti melakukan 3T alias tracing, testing, dan treatment justru tidak digalakkan. Padahal apalah artinya pembatasan kegiatan tanpa dilakukan 3T yang masif.
Contohnya Hong Kong. Beberap waktu lalu kasus Covid-19 di Hong Kong melonjak. Tapi jangan kira melonjaknya itu ribuan kasus ya seperti di Indonesia. Lalu dilakukanlah lockdown selama dua hari saja di akhir pekan. Kira-kira sama seperti yang dilakukan Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo.
Bedanya Hong Kong tidak mengunci seluruh wilayahnya. Hanya di beberapa wilayah padat penduduk saja. Tujuannya adalah untuk melakukan pengetesan masif seluruh warga di kawasan padat tersebut.
Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Ede Surya Darmawan, menyampaikan pentingnya pemerintah menguatkan tracing, testing dan treatment. Selama ini, Ede memandang tracing dan testing belum berjalan secara cepat dan tepat.
"PPKM dikira seluas Jawa-Bali, tapi hanya diberlakukan di 23 kota, DKI Jakarta saja sudah lima kota hitungannya," kata Ede pada Republika, Senin (1/2).
Ede mengkhawatirkan kegiatan testing lebih didominasi dari jenis testing mandiri. Padahal testing mestinya didominasi hasil tracing oleh pemerintah.
"Bagaimana tracing dan testingnya? 35-40 persen orang Jakarta. Harusnya 18 wilayah lain di atas 35 persen. Penduduk Jakarta tidak sampai 10 persen Indonesia. Testing di Jakarta 10 persen saja biar genjot daerah lain," ujar Ede.
Selain itu, Ede mengusulkan agar pemerintah lebih baik menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ketimbang PPKM. Ia meyakini PSBB mampu membatasi mobilitas penduduk yang pada akhirnya menekan laju infeksi. "PSBB diterapkan mau akhir pekan, sepanjang pekan tidak apa-apa karena jangan sampai ada yang bergentayangan tidak jelas," ucap Ede.
Upaya Ganjar yang menerapkan Jateng Di Rumah Saja juga awalnya saya kira sebagai bentuk gebrakan. Setidaknya selama dua hari masyarakat bisa ditekan mobilitasnya. Karena mobilitas adalah salah satu penyebab utama penularan Covid-19.
Tapi ternyata, tidak ada sanksi bagi pelanggar. Bahkan saya dengar acara seperti pernikahan juga masih dibolehkan dengan maksimal tamu 300 orang. Semoga saja tidak benar.
Kebijakan tersebut dicibir sebagian. Karena, sebagian masyarakat itu berpikir. Buat apa sih, lockdown kok cuma dua hari?
Pemikiran yang tidak salah. Apalagi kalau tidak pernah dibarengi dengan upaya 3T yang masif sebagai syaratnya.
Jadi ya sudah. Mau lockdown atau tidak. Mau PPKM lanjut jilid selanjutnya atau tidak. Mau lockdown selama Imlek atau tidak, kalau tanpa galaknya aparat penegak protokol kesehatan dan tidak adanya upaya 3T yang masif, maka kita ya begini-begini saja. Anak-anak masih tetap harus sekolah di rumah, efeknya lost learning. Perekonomian sulit bergerak, akibatnya utang bangsa ini ke luar negeri terus akan bertambah.
Jangan lupa, pascapilkada serentak dan libur Natal Tahun Baru, bangsa ini belum juga berhasil beranjak kembali ke penurunan kasus, rumah sakit yang lebih lowong, dan nakes yang lebih bisa bernapas lega. Ingat puasa dan Lebaran juga sudah dekat. Jangan sampai setelah Lebaran, kita bergumul lagi dengan kenaikan kasus, rumah sakit yang penuh, sampai akhirnya bertemu lagi dengan libur-libur panjang lainnya. Dan, mimpi buruk itu terulang lagi.
*Penulis adalah jurnalis Republika.co.id