Kamis 12 Dec 2019 16:49 WIB

Tiga Tokoh dari Sumsel Menguak COP

Tidak sembarang tokoh yang bisa berbicara di COP.

Red: Karta Raharja Ucu
Maspril Aries, wartawan Republika
Foto:

KTT Perubahan Iklim dan COP

Jika kemudian ada yang bertanya, apa hebatnya COP dan KTT Perubahan Iklim? Bukan seberapa hebat jawabannya, tapi betapa penting membahas perubahan iklim atau pemanasan global yang terjadi di bumi kita. Selain isu terorisme dan pelanggaran HAM, maka isu perubahan iklim cukup membuat PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) kalang kabut. Pada Maret 2008, Dewan Keamanan PBB mengesahkan perubahan iklim sebagai isu hak asasi manusia (HAM).

Perubahan iklim terutama disebabkan oleh meningkatnya aktifitas manusia yang dimulai sejak revolusi industri tahun 1900. Karbon dioksida (CO2) dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batubara, minyak bumi dan gas, selain itu CO2 juga bisa dihasilkan dari penebangan hutan (deforestasi). Data historis mencatat konsentrasi CO2 meningkat dari tahun ke tahun dan peningkatan secara drastis.

Peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer akan mengakibatkan naiknya temperatur permukaan bumi yang dapat menyebabkan melelehnya es di kutub utara dan kutub selatan, sehingga tinggi muka air laut pun akan mengalami peningkatan. Perubahan iklim global ini akan terus terjadi dengan peningkatan aktifitas kegiatan manusia yang menghasilkan emisi karbon, dan selanjutnya akan terjadi kenaikan temperatur global. Berdasarkan simulasi model MERGE - (Model for Evaluating the Regional and Global Effects of Greenhouse Gas Reduction Policies) bahwa konsentrasi karbon global akan naik mencapai titik tertinggi sebesar 500 ppm pada tahun 2060 dan selanjutnya akan turun dengan peningkatan konsumsi teknologi rendah emisi (carbon-free technology) dalam total energi mix dunia. Pada tahun 2100 temperatur global akan meningkat mencapai 3 derajat celcius.

Sejak Sidang Umum PBB tentang ‘Perubahan Iklim’ tahun 1988, dunia disibukkan dengan isu pemanasan global (global warming). PBB sontak menugaskan World Meteorological Organization (WMO) dan United Nation Environment Programe (UNEP) mengumpulkan para ilmuwan terkemuka dalamm wadah Intergovernmental Panel On Climate Change (IPCC). Forum Ini bertugas menilai besaran, skala, dan masa waktu perubahan iklim, mengukur implikasi, dampak, serta menyarankan strategi penanggulangannya.

Sejak saat itu KTT Perubahan Iklim yang kelahirannya berawal dari Konvensi Perubahan Iklim PBB atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dihasilkan di New York, Amerika Serikat tanggal 9 Mei tahun 1992 dan ditandatangani di Rio De Janerio, 4 Juni tahun 1992 pada Earth Summit atau Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (KTT Bumi), terus berlanjut sampai kini.

Dua tahun kemudian, pada 21 Maret tahun 1994, UNFCCC atau Konvensi Perubahan Iklim mulai diberlakukan. Dengan berlakunya Konvensi Perubahan Iklim maka dimulailah pertemuan para pihak atau Conferences of the Parties (COP) yang berfungsi untuk mempertemukan pihak-pihak yang menyepakati berbagai komitmen dan tindak lanjut UNFCCC. Conference of the Parties (COP) pertama diadakan di Berlin, Jerman pada ahun 1995 yang menghasilkan Mandat Berlin (Berlin Mandate).

Kemudian berlanjut COP 2 yang berlangsung di Jenewa, Swis 1996 dan COP 3 di Kyoto, Jepang 1997. COP 3 menghasilkan Protokol Kyoto atau Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change. Protokol ini merupakan pelaksanaan dari UNFCCC 1992 dan bersifat mengikat secara hukum atau legally binding.

COP berlangsung setiap tahun dengan berbagai dinamikanya dan Indonesia selalu hadir. Setiap pertemuan perundingan rezim perubahan iklim berlangsung sangat dinamis. Perubahan dari tahun ke tahun dari perundingan satu ke perundingan lainnya sering tidak dapat diduga.

Seperti pada COP ke 6 berlangsung di Den Haag, Belanda sempat deadlock dan rezim perubahan iklim terancam terhenti dikarenakan adanya perbedaan pendapat di antara negara-negara maju. Namun berkat kepiawaian diplomasi Jan Pronk sebagai Presiden COP 6 maka diadakan pertemuan kembali yang dikenal dengan COP 6 bis (tambahan) dan mencapai kesepakatan penting dengan menghasilkan Bonn Agreement.

Masalah lainnya juga terjadi pada proses perundingan untuk menggantikan Protokol Kyoto 1997 yang kerap gagal, bahkan beberapa negara maju yang termasuk seperti Jepang, Russia, dan Kanada sudah tidak ingin berpartisipasi lagi dalam rezim Kyoto. Namun kemudian, sebagai pengganti Protokol Kyoto 1997 berhasil disepakati melalui Paris Agreement 2015 yang ditandatangani pada tanggal 22 April tahun 2016.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement