REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Nasihin Masha
Nama Miranda Swaray Goeltom pertama melejit saat menjadi deputi ketua di Bappenas. Dia kemudian dikenal sebagai ekonom. Na ma nya makin berkibar ketika kemudian ditarik ke Bank Indonesia. Apalagi, kemudian ia menjadi deputi gubernur senior (DGS) pada 2004, yakni orang nomor dua di bank sentral setelah Burhanuddin Abdullah.
Walau kemudian dia dihubung-hubungkan dengan kasus cek pelawat senilai Rp 24 miliar, masih banyak orang yang meminta berfoto bersamanya. Miranda adalah sebuah pesona dari kecerdasan dan kekuasaan. Ia tetap aktif berseminar ataupun menjadi dosen. Namun, kini ia tak bisa ke mana-mana lagi. Pada Januari 2012, dia ditetapkan sebagai tersangka.
Miranda kemudian meringkuk di tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mes kipun sebetulnya, ia termasuk ‘kuat’. Terbukti ia tak kunjung bisa disentuh walau pun kasus cek pelawat sudah bergulir empat tahun. Nama Miranda tak kunjung tersentuh karena Nunun Nurbaeti, istri mantan wakapolri Adang Darajatun, melarikan diri ke luar negeri. Ia menjadi aktor kunci dalam kasus ini.
Namun pada Desember 2011, Nunun ditangkap di Thailand. Hal ini makin menguatkan tekanan untuk menangkap Miranda. Kasus ini bermula pada pemilihan DGS di DPR. Sebanyak 41 anggota DPR memilih Miranda, yang diduga karena mereka menerima suap berupa cek pelawat ( traveler cheque). Kasus ini terungkap karena pengakuan Agus Tjondro, anggota DPR dari PDIP, ke KPK pada 2008. Sejumlah anggota DPR pun ditangkap dan di vonis bersalah pada 2010.
Kasus ini mestinya tak berhenti di kasus cek pelawat. Jika kasus ini hanya berhenti di Miranda, KPK tak lebih hanya lembaga biasa. Bukan lembaga superbodi dan lembaga extra ordinary. Jika begitu, relevansi kehadiran KPK pun dipertanyakan. KPK justru harus bisa mengungkap kasus ini secara tuntas. Kasus cek pelawat hanyalah gelombang kecil dari gelombang besar yang sesungguhnya.
Ibarat seorang pencuri yang merusak kunci lemari, sang pencuri hanya dihukum karena tindakannya merusak kunci lemari. Perbuatannya yang jauh lebih besar, yakni menguras isi lemari, justru tak dihukum. Tentu lucu. Dia datang untuk menguras lemari, bukan untuk merusak kunci lemari. Merusak kunci lemari adalah sebuah tindakan tak terelakkan agar dia bisa mencuri isi lemarinya.
Cek pelawat ibarat kunci lemari maka ada isi lemari yang dicuri. Itulah pertanyaannya dan tantangan untuk KPK. Sudah selayaknya KPK mengaudit seluruh kebijakan, ucapan, dan tindakan Miranda selama menjadi DGS. KPK harus sampai ke akarnya. Langkah pertama adalah da ri siapa dana cek pelawat itu. Apakah dari Miranda sendiri? Atau, ada yang mensponsorinya? Hingga saat ini, KPK belum pernah menguji asal-usul dana cek pelawat tersebut secara tuntas. Aliran uang baru terhenti di tingkat Nunun. Nama Miranda tak pernah disebut dalam aliran uang. Satu nama yang diduga menjadi mata rantai ke aktor utama justru telah mati. Tentu naif jika kita percaya bahwa Nunun sebagai penyandang dananya.
Dia bukan orang yang memiliki kualifikasi yang bisa mengail keuntungan besar dari jabatan Miranda. Hanya pemain besar yang bisa memanfaatkan pejabat sekelas DGS. Mereka adalah para pemegang uang. Dan, dalam kaitan Bank Indonesia, maka itu bisa perbankan, pengusaha valas, atau pemain saham. Ujung dari permainan ini adalah insider trading. Ini tentu tuduhan serius.
Kebijakan BI ada kaitan dengan selisih bunga, nilai tukar uang, ataupun harga saham. Jika seorang pejabat BI membuat kebijakan, membuat tindakan, atau sekadar membuat pernyataan bisa berimplikasi terhadap naik-turunnya suku bunga, nilai tukar mata uang, dan harga saham.
Karena itu, pejabat BI harus terukur dalam hal-hal tersebut. Jika seorang pejabat BI membocorkan informasi ke pihak lain tentang halhal itu, pihak lain itu akan mendapat keuntungan luar biasa.
Tentu negara dirugikan. Hal ini sama saja dengan perampokan uang negara. Apakah kasus cek pelawat ini ada kaitan dengan hal-hal demikian? KPK yang harus membedahnya. Ini jika KPK menempatkan dirinya sebagai lembaga ex traordinarydan bukan lembaga ecek-ecek.