REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha
Hari-hari terakhir ini, berita-berita di televisi, salah satunya, ditaburi aksi penyerangan atau bentrok. Akarnya adalah adanya kelompok yang berbeda. Mereka kemudian dijatuhi fatwa sesat dari MUI daerah. Pertama, kasus Syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur. Kedua, kasus tarekat di Sukabumi, Jawa Barat. Ketiga, kasus kelompok yang menamakan diri Pajajaran Panjalu Siliwangi di Bogor, Jawa Barat.
Yang pertama dan ke dua berujung pada aksi kekerasan massal. Yang ketiga belum ada aksi kekerasan. Ada dua hal yang mesti dipahami bersama. Pertama, ada perbedaan antara kelompok itu dengan kondisi mayoritas pada umumnya. Kedua, ada tindak kekerasan oleh masyarakat terhadap kelompok itu. Untuk yang pertama adalah suatu hak dari suatu dewan atau komisi dari lembaga yang berwenang untuk memberikan penilaian terhadap suatu kelompok. MUI adalah lembaga yang memiliki kewenangan untuk itu. Pemberian fatwa sesat merupakan hak MUI.
Yang penting pemberian fatwa itu telah mengikuti prosedur yang benar. Tentu di sini ada pertanyaan, apakah MUI daerah berhak memberikan fatwa? Dalam kasus Syiah di Sampang, MUI Pusat hingga kini tak ikut memberikan fatwa. Padahal, sudah ada permintaan dari MUI daerah untuk itu. Penguatan terhadap fatwa sesat MUI Sampang hanya dilakukan MUI Jawa Timur. Dalam hal Syiah, tampaknya para ulama di tingkat nasional memiliki pandangan yang berbeda dengan ulama Sampang.
Bahkan, Ketua Umum PBNU KH Said Aqiel Siradj menilai, kasus Sampang hanyalah kasus kriminal, bukan kasus agama. Padahal, sudah pasti bahwa para ulama di Sampang dan Jawa Timur adalah para kiai dari NU. Fakta ini tentu memberikan ketidakpastian bagi umat. Padahal pula, salah satu fungsi fatwa adalah untuk memberikan kejelasan pada umat. Dari konteks ini jelas bahwa MUI perlu merumuskan aturan yang lebih tegas tentang prosedur fatwa. Sebaiknya fat wa hanya diberikan oleh MUI Pusat.
Adapun soal kekerasan ada banyak dimensi. Pertama, polisi dan birokrasi pemerintah tak efektif menangkal terjadinya kekerasan. Sebabnya bisa macam-macam, misalnya, tak adanya pemahaman yang benar tentang perlindungan dan pelayanan, hak asasi manusia, maupun efektivitas kepemimpinan dan organisasi. Kedua, rendahnya sikap toleran masyarakat terhadap perbedaan dan kurangnya penghormatan masyarakat terhadap kemanusiaan. Ketiga, tak menutup kemungkinan adanya unsur peng-galangan untuk melemahkan umat ataupun tujuan politik tertentu.
Munculnya aliran-aliran sempalan--yang kemudian di antaranya bisa jadi sesat dari doktrin mainstream--akan terus terjadi dalam masyarakat modern. Jumlahnya hingga kini bisa ratusan atau bahkan ribuan. Karena itu, solusi yang dilakukan ulama dengan memberikan fatwa sesat mestinya bukan solusi tunggal. Sudah saatnya umat, dan terutama ulama, bekerja dengan lebih cerdas dan lebih rumit. Pemberian fatwa sesat adalah solusi paling gampang, cepat, dan sederhana.
Lahirnya fatwa sesat tak akan menghentikan atau mengurangi munculnya aliran-aliran se rupa lainnya. Apalagi, jika benar dan tak menutup kemungkinan ada kerja- kerja intelijen asing maupun domestik untuk melemahkan umat Islam. Kerja intelijen itu bisa berupa penciptaan kelompok sempalan itu maupun respons anarkistis massal.
Sejarah di Indonesia membuktikan fakta terakhir ini. Operasi-operasi intelijen yang dilakukan Opsus atau operasi petrus dan pembunuhan dukun santet adalah bukti sejarah itu.
Karena itu, lahirnya solusi yang lebih rumit dan cerdas tak terelakkan lagi.
Sudah saatnya umat memperkuat dirinya dengan lembaga riset, lembaga strategis, dan crisis center. Dengan demikian, ulama akan mendapat masukan yang bersifat akademis, sosiologis, maupun politis. Sehingga, ulama tak melulu melihat persoalan secara doktrinal belaka. Pada sisi lain, lewat crisis center, ulama bi sa melihat hal yang tak umum dengan paham mainstream dengan pendekatan yang bersifat konseling. Ini mengajarkan masyarakat tentang empati dan bukan hitam-putih.
Pada titik ini, kita tak bisa menyerahkan semuanya pada ulama. Butuh dukungan kaum profesional dan butuh bantuan dana yang tak kecil. Sudah saatnya para orang kaya di Indonesia meniru karakter orang-orang kaya di Barat yang gemar pada filantropi. Persoalan umat bukan hanya tanggung jawab ulama, melainkan juga tanggung jawab kita semua.