REPUBLIKA.CO.ID,oleh: Yudi Latif
Tawuran pelajar lebih dari sekadar perkelahian anak-anak berandal yang bisa diselesaikan dengan menghukum kepala sekolah. Tawuran mengisahkan sesuatu yang lebih sinis- ter, sebagai riak permukaan dari kedalaman krisis multidimensional yang melanda bangsa.
Untuk memahami akar masalah dari tawuran pelajar, kita bisa meminjam beberapa perspektif teori sosiologi dalam menilik terjadinya krisis sosial serta solusi penyelesaiannya.
Menurut teori “patologi sosial”, sebab pokok masalah sosial adalah kegagalan sosialisasi norma-norma moralitas yang membuat warga masyarakat melakukan pelanggaran terhadap ekspektasi kepatutan moral. Kisah tawuran pelajar bukanlah suatu kasus yang berdiri sendiri, melainkan ada kesejajarannya dengan kisah penegak hukum yang menjadi pelindung penjahat, “bonek” menghancurkan sarana publik, wakil rakyat lebih memperjuangkan aspirasi yang bayar.
Erosi moralitas ini disebabkan oleh kegagalan proses belajar sosial akibat kerapuhan sistem pendidikan dan pranata sosial. Pendidikan terlalu menekankan aspek kognitif dalam kerangka “belajar untuk tahu” (learning to know), kurang memperhatikan arti penting “belajar untuk mengerjakan kecakapan hidup” (learn ing to do), “belajar mengembangkan jatidiri” (learning to be), serta “belajar mengembangkan keharmonisan hidup bersama” (learning to live together).
Dalam masyarakat tradisional, proses belajar sosial dan kontrol moral ini bisa dilakukan lewat kedekatan hubungan sosial dan institusi gosip. Karena modernisasi, hubungan sosial merenggang diikuti menguatnya ketidakpedulian sosial. Sementara itu, institusi pendidikan dan pranata baru masyarakat tak mampu mengantisipasi perkembangan. Dalam perspektif ini, solusinya adalah penyempurnaan proses belajar sosial dan pendidikan karakter.
Menurut teori “disorganisasi sosial”, masalah sosial terjadi karena kemacetan sistem peraturan. Hal ini disebabkan oleh bubrahnya tradisi, konflik antarperaturan, serta kealpaan dan kelemahan sistem hukum. Perubahan sosial yang dipicu perkembangan teknologi, penduduk, dan budaya mempercepat ketidaksesuaian sis tem peraturan. Sementara itu, kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat yang diuntung kan oleh peraturan lama berusaha mempertahankan kelemahan sistem peraturan. Hal ini diperburuk oleh lemahnya law enforcement sebagai penjamin kepastian hukum. Akibatnya, terjadi pembusukan pada sistem saraf sosial yang bertugas menjaga keserasian hubungan kemasyarakatan. Dalam perspektif ini, solusinya adalah membangun kembali keseimbangan sistem sosial dengan melakukan reformasi sis tem peraturan dan penegakan kepastian hukum.
Menurut teori “konflik nilai”, masalah sosial terjadi karena benturan nilai. Kompetisi budaya dan ideologi serta tipe-tipe kontak antarkelompok dalam masyarakat menyulut ketegangan sosial. Perebutan pengaruh antarpendukung liberalisme dan fundamentalisme, antarpeme luk agama, antara nilai-nilai Barat dan Timur, atau antara kalangan atas dan bawah menimbulkan polarisasi sosial dan pengerasan identitas kelompok dalam masyarakat. Dalam perspektif ini, solusinya adalah ketegasan otoritas terhadap aturan hukum, disertai upaya tawarmenawar ( bargaining), dan penyediaan meka nisme konsensus.
Menurut teori “penyimpangan perilaku”, masalah sosial terjadi karena kegagalan institusi ke luarga (primary group) serta rusaknya keteladanan yang mendorong individu memilih proses sosialisasi yang menyimpang. Konsentrasi perhatian orang tua pada hal-hal di luar rumah, apresiasi yang berlebihan terhadap nilai-nilai lahiriah ketimbang keharmonisan keluarga, dan rapuhnya keteladanan moral tokoh-tokoh masyarakat dan politik, membawa anak pada hipnosis tokoh-tokoh fiksional atau antisosial. Akibatnya, banyak anak menyimpang dari kesusilaan perilaku yang diharapkan. Dalam perspektif ini, solusinya adalah membangun kembali pranata keluarga sebagai basis tumpuan moralitas, serta membatasi kontak anak terhadap lingkungan pergaulan dan idola-idola (role model) yang menyimpang, seraya memulihkan kembali kredibilitas moral tokoh-tokoh publik.
Menurut teori “sosial kritis”, masalah sosial pada akhirnya harus dipandang sebagai masalah endemik dan bagian inheren dari masyarakat kapitalis. Sebab, pokok dari masalah sosial adalah dominasi dan konflik kelas: kalangan “berada” terus-menerus mempertahankan dan memperluas apa-apa yang dimilikinya dengan pengorbanan mereka yang “tak punya”. Konflik ke las dipicu oleh sistem dominasi sosial yang me langgengkan ketidakadilan. Pada akhirnya, orang, kelas, dan negara yang kaya tambah kaya, sedangkan orang, kelas, dan negara lain yang miskin tambah miskin. Dalam perspektif ini, munculnya gejala fundamentalisme, terorisme, separatisme, serta bentuk-bentuk kekerasan lain nya tak bisa dilepaskan dari struktur-struktur ketidakadilan. Maka itu, solusi terhadap ma salah sosial adalah penghancuran struktur-struk tur dominasi seperti itu, apakah lewat perjuangan kelas atau bentuk-bentuk perlawanan lainnya.