Jumat 12 Oct 2012 07:00 WIB

Pemimpin Inspiratif di Zaman Ekonomi Global

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha

Dalam sepekan ini, Republika kedatangan tamu dari tiga institusi asing. Pertama, atase pers Kedutaan Amerika Serikat, yang sebelumnya adalah atase ekonomi, Troy E. Pederson. Kedua, Wakil Duta Besar Jepang Yusuke Shindo. Ketiga, Kepala Perwakilan IMF Benedict Bingham. Mereka semua adalah pejabat baru, baru menjabat sekitar dua pekan sampai satu bulan. Walau dalam kesempatan terpisah, semuanya membicarakan ekonomi Indonesia. Tentu yang paling dalam adalah saat berdiskusi dengan Bingham.

Mereka mengagumi perkembangan ekonomi Indonesia. Bingham menyebutnya sebagai remarkable, luar biasa. Apalagi dia baru tiba di Indonesia setelah 10 tahun tak pernah datang lagi ke Indonesia. Troy yang sudah cukup mengenali ekonomi Indonesia, lebih menekankan soal kepastian hukum. Salah satu contoh yang ia sebut adalah pemailitan Telkomsel oleh pengadilan. Menurutnya, hal itu bisa membuat pengusaha asing khawatir.

Troy cukup sopan dengan tak menyebutkan sengketa di Bumi Resources yang melibatkan perusahaan Amerika Serikat. Sedangkan Shindo mengkhawatirkan apa yang ia sebut sebagai 'radikalisme'. Tampaknya Shindo masih belum cukup paham tentang kondisi sosial politik di Indonesia. Ia masih membawa persepsi yang ia dapat sebelumnya, apalagi ia pernah bertugas di Arab Saudi. Ia cukup paham dengan Wahabi. Ia mempersepsikan signifikansi paham radikal di Indonesia. Adapun Bingham tak lagi khawatir dengan radikalisme, karena ia menilai Indonesia sudah berhasil memberantas terorisme. Yang ia perhatikan adalah “grass root sentiment” terhadap investor asing, yakni ketidaksukaan masyarakat akar rumput terhadap yang berbau asing.

Selain itu, ia juga mempertanyakan kebijakan fiskal pemerintah, seperti pungutan-pungutan di daerah dan subsidi energi. Ia menilai kebijakan makroekonomi Indonesia sudah bagus. Hanya masalah fiskal yang harus dibenahi. Selain itu ia juga mendukung penuh program pembangunan infrastruktur, yang kita kenal sebagai MP3EI.

Itulah beberapa penilaian orang asing terhadap kondisi ekonomi Indonesia paling mutakhir. Tentu kita tak harus sependapat. Namun memahami persepsi para pembuat kebijakan ataupun pelaku ekonomi dari negeri-negeri atau institusi penting sangatlah diperlukan. Apalagi di dunia yang semakin datar, terutama di bidang ekonomi. Bak bejana berhubungan, apa yang terjadi di sebuah negeri akan dengan cepat merambat di negeri lain. Itulah dampak globalisasi. Sebetulnya, bagi Indonesia, globalisasi sudah dikenal sejak masa VOC, masa ketika untuk kali pertama ekonomi Indonesia terintegrasi dengan ekonomi dunia. Namun di masa kini makin massif dan intensif.

Saat ini kita sedang waswas membaca kecenderungan ekonomi dunia. Krisis ekonomi 2008 bisa dengan cepat diatasi, dan tak merembet ke Indonesia. Namun krisis ekonomi saat ini, yang dimulai dari Yunani – yang sebetulnya tak memiliki posisi penting dalam ranah ekonomi -- dan kemudian diikuti negara-negara Eropa lain, ternyata tak bisa cepat dipulihkan. Pada sisi lain, dampak krisis ekonomi 2008 yang dimulai dari Amerika Serikat belum juga pulih di jantungnya. Sehingga ketika ada getaran lagi, walau episentrumnya berbeda, menyulitkan ekonomi global untuk mencapai titik kesetimbangan yang baru. Ekonomi Cina yang menjadi penyelamat krisis 2008 kini mulai terdampak.

Pertumbuhannya melambat secara drastis. India bahkan ada tanda-tanda ikut terkena krisis karena defisit anggarannya yang besar. Karena dua negara terdekat dari Indonesia ini mulai goyang, maka ekonomi Indonesia pun mulai melambat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini diperkirakan 'hanya' 6,1 persen, lebih rendah dari target 6,5 persen.

Sebetulnya angka pertumbuhan ekonomi itu belum merisaukan benar. Karena pada 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia sempat menyentuh 4,5 persen. Yang membuat kita perlu waspada pada situasi saat ini adalah karena perlambatan angka pertumbuhan ekonomi itu dibarengi dengan terjadinya defisit transaksi berjalan. Ini menunjukkan nilai impor Indonesia melebihi nilai ekspornya. Pada semester kedua rasio defisitnya sudah 3,1 persen terhadap Product Domestic Bruto. Ini sudah melampaui angka psikologis 3 persen. Kita berharap pada akhir tahun bisa menyentuh angka yang bisa diterima pasar, yaitu 2 persen. Bingham optimis angka defisitnya maksimal 2 persen.

Tampaknya, pemerintah akan mengandalkan konsumsi domestik yang besar untuk menghadapi dampak ekonomi global saat ini, terutama untuk mempertahankan angka pertumbuhan ekonomi. Selain itu, juga mengerem laju impor serta meningkatkan nilai tambah barang-barang ekspor dengan memperbaiki sektor hulu pertambangan. Lainnya adalah mengharapkan masuknya modal asing di sektor infrastruktur dan industri hulu. Sedangkan kebijakan fiskal masih belum berani banyak disentuh, terutama subsidi energi.

Jika kita memperhatikan pendapat tiga orang asing tersebut, yang mereka khawatirkan bukanlah pada aspek ekonominya. Sedangkan aspek politik juga tak begitu mereka khawatirkan karena Indonesia sudah berhasil melakukan transisi demokrasi. Politik Indonesia yang berisik tak mengganggu stabilitas. Mereka justru mengkhawatirkan dua hal: sosial dan hukum. Inti dari dua hal ini adalah kepemimpinan dan pemberantasan korupsi. Kita butuh pemimpin yang inspiratif dan menjadi teladan.

sumber : resonansi
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement