REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha
“Warga melepaskan kembali [mayat] keduanya ke sungai karena takut menjadi saksi dan ditanya-tanya.”
Hanya berita kecil. Dua kolom. Di halaman 11. Namun kutipan pernyataan Marlan, kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pada koran Republika edisi Rabu, 21 November 2012, itu layak kita renungi. Marlan sedang membicarakan nasib korban longsor di Soreang, yang kemudian hanyut di sungai. Namun warga yang mendapati mayat mereka lebih memilih lepas tangan daripada repot diperiksa polisi.
Tentu ini menyedihkan sekali. Prihatin, jika mengikuti bahasa yang biasa digunakan Presiden kita. Kita juga mengenal istilah 'tabrak lari'. Atau orang-orang lebih suka berdiam diri dan menyingkir jika ada orang digebuki, padahal mereka korban penodongan atau premanisme. Kita juga sering menemukan kenyataan orang yang bersalah menyerempet kendaraan kita berlaku lebih galak daripada kita yang menjadi korbannya. Kita membiarkan dan menganggap lumrah segala perilaku menyimpang di seputar kita.
Ada sebuah pengalaman menarik ketika meliput perang di Bosnia-Herzegovina pada 1994. Saat itu tak ada pintu masuk langsung ke negeri yang sedang dilanda perang setelah menyatakan merdeka dari Yugoslavia. Satu-satunya adalah lewat Zagreb, Kroasia -- negeri yang sudah lebih dulu memerdekaan diri dari Yugoslavia. Di benak kita tertanam persepsi wajah dingin orang-orang di negeri komunis tersebut. Wajah kaku dan tak peduli. Negeri yang masyarakatnya bagai robot. Namun persepsi itu berubah. Seorang ibu yang sedang mengendarai mobilnya menabrak anak kecil yang sedang bermain sepeda. Si ibu segera turun dan tergopoh-gopoh. Masyarakat juga segera menolong si bocah. Tak ada kemarahan, apalagi, menggebuki si ibu. Semua fokus untuk membantu si anak.
Ini pengalaman lain lagi. Seorang wartawan tersesat di Vladivostok, Rusia, di tengah meliput KTT APEC 2012 lalu. Dia ditolong seorang warga dan diantar ke hotel. Jaraknya sangat jauh, karena lokasi konferensi berada di pulau tersendiri. Ibaratnya seperti Jakarta dan salah satu pulau di Kepulauan Seribu.
Pada 1974, antropolog Koentjaraningrat sudah menyimpulkan bahwa salah satu sifat buruk mentalitas manusia Indonesia adalah “mengabaikan tanggung jawab”. Rupanya, hingga 38 tahun kemudian, mentalitas tersebut masih melekat. Pada 1977, Mochtar Lubis, sastrawan dan wartawan senior dalam sebuah pidato kebudayaan yang kemudian dibukukan, Manusia Indonesia, juga menyebutkan salah satu mentalitas manusia Indonesia adalah segan dan enggan bertanggung jawab.
Warga Bandung tersebut memilih mengabaikan tanggung jawabnya sebagai sesama anak manusia daripada repot diperiksa polisi atau ditanya-tanya orang tentang penemuan mayat yang hanyut di sungai. Ia tak berpikir sebaliknya. Ia tak membayangkan wajah sedih tak berkesudahan keluarganya yang tak bisa menguburkan jenazah kerabat, anak, atau orangtuanya. Kita bisa membayangkan jika hal itu menimpa kita.
Mentalitas warga Bandung tersebut adalah wajah kita semua. Persoalan bangsa ini menjadi akut akibat tiadanya tanggung jawab. Indonesia adalah salah satu negeri paling korup di dunia. Mereka memperkaya diri demi kejayaan diri dan keluarga. Memperbesar pundi-pundi agar bisa menang pemilu. Menyuap dan menerima suap untuk kelancaran proyek dan jabatan. Setelah itu, kita tak pernah bersungguh-sungguh memberantas korupsi. Pemberantasan korupsi hanya menjadi bagian dari permainan politik, untuk menyingkirkan dan menjatuhkan lawan politik. Mereka mestinya membangun tanggung jawab bahwa berlaku jujur dan adil bisa menolong orang miskin, mengobati orang sakit, mencegah kematian tak perlu, membuat anak-anak bisa sekolah, dan mereduksi kejahatan.
Menumbuhkan mentalitas yang bertanggung jawab merupakan tugas suci kita saat ini. Sesunggunya, mentalitas tak mekar sendiri. Ia merupakan produk kita sendiri. Jadi, kita lah yang harus mengubah segala keburukan wajah kita. “Dan di dalam air lumpur kehidupan, aku melihat bagai terkaca: ternyata kita, toh, manusia!” kata WS Rendra dalam sebuah puisinya. Kita harus membangun kembali kemanusiaan kita. Sering-sering becermin, terutama pada lumpur, wajah kelam kita.