REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ahmad Syafii Maarif
Manusia beradab pastilah bersikap toleran terhadap perbedaan, apa pun corak perbedaan itu. Itu idealnya. Dalam kenyataan empiris, idealisme ini sering benar diruntuhkan oleh perilaku mereka yang ingin memonopoli kebenaran atas nama agama, ideologi, atau atas nama apa pun.
Sikap tak toleran inilah yang mengacaukan arus sejarah menuju sebuah dunia cita-cita yang adil dan ramah, di atas segala perbedaan yang memang merupakan sunah Allah SWT itu. Kasus kekerasan terhadap kelompok-kelompok arus kecil di Indonesia, di mana polisi sering tak berdaya mengatasinya cukup meresahkan dan merupakan bukti kelompok ini dibuat agar merasa tidak aman dan tidak nyaman lagi hidup di bumi Pancasila ini.
Ini adalah sebuah kecelakaan sosial yang tidak boleh diperpanjang lagi, sebab energi kita sebagai bangsa akan terkuras oleh gangguan tak beradab semacam ini. Dalam sebuah latihan kepemimpinan yang diselenggarakan oleh LSM terkenal sekitar dua tahun yang lalu, saya pernah mengajak semua pihak untuk "merayakan perbedaan".
Setelah saya timbang-timbang belakangan, ungkapan itu terasa kurang mengena. Mungkin formula yang lebih tepat begini, "Mari kita kelola perbedaan dengan baik dan arif, demi terciptanya sebuah kehidupan yang lebih adil dan beradab di muka bumi."
Perbedaan tidak mungkin dan tidak perlu dibunuh, tetapi dikelola dan di kendalikan dengan lapang dada agar fabrik sosial tidak berantakan.
Ayat kedua tersebut dalam surat al-Hajj ayat 40, yang artinya, "... dan sekiranya Allah tidak memberi kemampuan kepada manusia untuk mempertahankan dirinya terhadap satu sama lain, maka semua biara, gereja, sinagog, dan masjid pasti akan hancur berantakan, di dalamnya nama Allah banyak disebut. Dan sungguh Allah menolong siapa yang menolongnya.
Sesungguhnya Allah Mahakuat, Perkasa."
Alquran di sini dengan tegas mengatakan bahwa nama-Nya tidak hanya disebut terbatas di dalam masjid, tetapi juga dalam biara, gereja, dan sinagog. Artinya, tak seorang pun yang berhak menghalangi pihak lain dalam menjalankan ibadah menurut agamanya masing- masing.
Dengan demikian, perusakan terhadap tempat-tempat ibadah dari agama yang beragama sama artinya dengan pembangkangan terhadap ketentuan Allah dalam Alquran.
Pada saat Islam menjadi sasaran sebagai agama tertuduh, khususnya akibat Tragedi 11 September 2001, sekelompok kecil umat Islam menjadi tidak stabil secara psiko-emosional.
Dalam kondisi yang oleng ini, sebagian orang menjadi gelap mata dengan merusak tempat- tempat ibadah golongan lain, dimana nama Allah juga banyak disebut, sebagaimana ayat di atas memberikan testimoni.
Dalam menghadapi kasus-kasus tertentu, rupanya Alquran bersikap lebih toleran dibandingkan kelakuan sebagian umat Islam. Dari ke ruwetan psikologis yang semacam inilah bibit-bibit intoleransi itu bersumber. Tetapi, kelakuan yang menyimpang ini harus secepatnya di kontrol dan diluruskan dengan mengacu kepada diktum Alquran yang kebenarannya diakui dan dipercayai seluruh umat Islam, tanpa kecuali.
Kembali kepada konsep bhinneka tunggal ika. Tujuan Mpu Tantular dengan rumusan ini semula adalah agar antara penganut Hindu dan Buddha tidak saling menyerang karena merasa sebagai pihak yang paling benar. Ungkapan itu diikuti oleh: tan hana dharma mangrwa (tidak ada kebenaran yang mendua). Artinya, baik Hindu maupun Buddha sama-sama menuju ke jalan kebenaran dengan cara dan metode yang berbeda.
Dengan berkata begini, tuan dan puan jangan salah paham. Bagi saya Islam adalah agama yang paling benar, sebab jika keyakinan ini tidak dimiliki, maka iman kita bisa goyang dan orang akan dengan mudah berganti agama, seperti berganti baju saja. Agama tidak bisa diperdagangkan dan dipermainkan. Agama adalah sesuatu yang sangat mendasar yang memberi makna sejati kepada kehadiran kita di alam semesta ini, sementara filsafat gagal memberikan makna itu.
Namun, kita juga harus bersedia memberikan posisi yang sama kepada pihak lain yang menganggap agamanya pula yang paling benar.
Dengan formula ini tidak ada alasan bagi siapa pun untuk bersikap antitoleransi. Bahkan, sebenarnya orang yang tak beriman pun berhak hidup di muka bumi dengan aman dan nyaman dengan syarat adanya kesediaan mengembangkan sikap saling menghormati, tidak punya agenda tersembunyi untuk menelikung dan menghancurkan satu sama lain.
Formula Alquran berikut ini tetap relevan sepanjang sejarah, "Bagimu agamamu, bagiku agamaku" (Surat al-Kafirun ayat 6). Surat Makkiyah ini membuka pintu untuk berbeda dengan tidak merusak perumahan kemanusiaan.