REPUBLIKA.CO.ID,Ahmad Syafii Maarif
Sudah berlangsung sekitar 20 tahun umat manusia dihebohkan oleh masalah terorisme dengan korban yang bergelimpangan dalam jumlah ratusan jika bukan ribuan. Pihak Barat hampir selalu mengaitkan perbuatan teror ini kepada umat Islam, sekalipun mereka yang terlibat di dalamnya hanyalah segelintir.
Bahkan, pasca Tragedi 9/11/2001 yang meluluhlantakkan Menara Kembar di Kota New York, Islam bahkan disamakan dengan terorisme karena perbuatan segelintir manusia di atas. Barat di bawah komando Amerika Serikat dengan presidennya, George W Bush, menjadi gelap mata: dua negara Muslim, Afghanistan dan Irak, dihancurkan dengan berbagai dalih, baik karena dituduh sebagai pusat terorisme dunia maupun karena dituduh sebagai pusat senjata pemusnah massal.
Afghanistan yang miskin kemudian menjadi berantakan oleh hantaman senjata Barat, sedangkan Irak menjadi babak belur oleh senjata yang sama. Diktator Saddam Husein dibunuh setelah melewati pengadilan sandiwara.
Sewaktu Presiden Bush melancarkan serangan brutalnya atas Afghanistan pada akhir 2001, saya langsung menggelarnya sebagai penjahat perang internasional dan sebagai Jengis Khan abad ke-21. Pernyataan saya ini dikutip oleh media nasional dan global.
Bush selama delapan tahun berkuasa (2000-2008) ternyata gagal menangkap Usamah bin Ladin yang dikatakan sebagai komandan tertinggi terorisme yang katanya bersembunyi di Afghanistan. Belakangan baru ketahuan bahwa Bin Ladin bersembunyi di Pakistan dan ditangkap di sana setelah Bush tidak lagi berkuasa.
Apa artinya ini bagi Afghanistan? Bangsa yang malang ini telah dizalimi oleh senjata Barat yang serbacanggih dengan korban ratusan ribu penduduknya, sedangkan Bin Ladin yang dicari tak pernah bertemu karena memang dia tidak bersembunyi di sana.
Berbicara tentang terorisme, saya teringat artikel Johan Galtung bulan 20 September 2002 di bawah judul "To End Terrorism, End State Terrorism" (Untuk Menghentikan Terorisme, Hentikan Terorisme Negara). Galtung terang-terangan mengatakan Amerika sebagai negara teror, di samping Israel tentunya.
Dalam catatan Galtung, sejak tahun 1945, Amerika, baik melalui perintah langsung Pentagon untuk menyerang negara lain atau melalui operasi CIA (Central Intelligent Agency), tidak kurang dari 12 juta umat manusia telah menjadi korban, belum termasuk apa yang berlaku di Afghanistan dan Irak.
Tidak kurang brutalnya adalah negara teror Israel yang berupaya dengan segala cara untuk menghentikan gerakan kemerdekaan bangsa Palestina yang sudah berlangsung sejak 1948. Ajaibnya, Israel malah menuduh Palestina sebagai negara teror, padahal apa yang mereka lakukan tidak lain dari perjuangan untuk merebut kemerdekaan yang telah dirampas negara Zionis itu tahun 1948 dengan dukungan Barat, terutama Amerika Serikat.
Berlarut-larutnya masalah Palestina ini, belakangan ditambah lagi oleh masalah Afghanistan dan Irak, telah mendorong segelintir umat Islam dengan teologi mautnya untuk melakukan perlawanan juga dalam bentuk teror kelompok atau teror perseorangan. Akibat perbuatan mereka ini, Islam telah menjadi agama tertuduh sebagai agama teror. Sebuah tuduhan zalim yang memang sengaja diciptakan pihak Barat dalam upaya mematikan pengaruh agama ini di muka bumi.
Iman seorang Muslim mengatakan bahwa pasti akan sia-sia setiap upaya-betapa pun sistematisnya-untuk membunuh pengaruh Islam dalam perjalanan sejarah. Namun, iman itu juga mengatakan bahwa Islam yang tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan yang semakin ruwet dari waktu ke waktu bukanlah Islam kenabian.
Jadi, dengan demikian bukanlah Islam yang otentik. Umat Islam sekarang sedang berdayung di antara dua kutub itu sampai satu saat titik terang penyelesaian terbuka lebar melalui kerja-kerja keras yang cerdas dan sungguh-sungguh. Islam tidak boleh berlama-lama terpasung antara dua kutub yang saling berlawanan ini.