Rabu 30 Jan 2013 07:00 WIB

Pembunuhan Politik

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Yudi Latif

Perwujudan daulat rakyat di negeri secara tepat dilukiskan sebagai “pesta demokrasi”. Demokrasi dirayakan sebagai festival kolosal, padat modal, penuh kegaduhan, ajang perseorangan mengundi nasib dan aji mumpung.

Dalam demokrasi sebagai pesta, terjadi surplus politisi tapi defisit politik. Para politisi tidak melakukan kerja politik, malahan tega berjamaah membunuh politik, bak Malin Kundang yang membunuh ibunya sendiri.

Politik adalah dimensi manusia secara keseluruhan. Dasar mengada dari politik adalah kepedulian terhadap konstruksi dan realisasi kebajikan kolektif (collective good). Dengan demikian, suatu kontradiksi jika orang-orang memasuki dunia politik hanya untuk meraih keuntungan pribadi.

Keuntungan pribadi bisa diperjuangkan di pasar barang dan jasa. Namun, di pasar sekali pun, jika semua orang hanya mempedulikan keuntungan dan kepentingannya sendiri, pada gilirannya akan terjadi bentrokan kepentingan yang bermuara pada hukum rimba: yang bertahan adalah yang terkuat (the survival of the fittest).

Untuk mencegah hal itu, kepentingan pribadi-pribadi harus memberi ruang bagi kehadiran institusi publik yang dapat menjamin kebajikan hidup bersama. Institusi itu bernama politik. Sejatinya, politik adalah usaha resolusi atas problem-problem kolektif dengan pemenuhan kebajikan kolektif.

Adapun jembatan yang dipakai oleh pribadi-pribadi untuk mempertautkan kepentingan perseorangan ke dalam kepentingan kolektif adalah partai politik. Untuk itu, partai politik harus mencerminkan ide kolektif (ideologi), dipimpin dalam semangat kolektif, dan tetap dalam kendali kolektif.

Keburukan demokrasi kita bermula ketika para politisi dan partai politik tidak melakukan kerja politik untuk kebajikan publik melainkan kerja “perdagangan” untuk kepentingan pribadi-pribadi. Dalam politik yang mengalami proses privatisasi, rasionalitas kepentingan individual harus dibayar oleh irasionalitas kehidupan publik.

Politik-kenegaraan yang mestinya lebih mengedepankan kepentingan publik acap kali lebih berpihak pada kepentingan privat. Di satu sisi, pemerintah bersikukuh mengurangi subsidi BBM bagi rakyat (secara keseluruhan) dengan dalih penyelamatan APBN. Saat yang sama, APBN justru mengambil alih pembayaran utang swasta, seperti bunga BLBI dan Lapindo.

Di satu sisi, pemerintah mengeluh tentang besarnya alokasi anggaran untuk biaya rutin. Saat yang sama, pemekaran wilayah tanpa ukuran, satgas-satgas serabutan diciptakan, biaya perjalanan “dinas” digelembungkan, dan berbagai proyek rekaan dibangun dengan mark-up.

Di satu sisi, DPR kerap melakukan revisi perundang-undangan politik dan pemilu dengan dalih menciptakan kualitas demokrasi dan pemilihan yang lebih sehat. Saat yang sama, asas fairness dalam pemilihan umum yang mengharuskan pembatasan biaya kampanye pemilihan justru diabaikan oleh DPR sendiri.

Kecenderungan sikap para politisi yang lebih mengendepankan keuntungan dan keselamatan sendiri, ketimbang kebaikan kolektif, membuat demokrasi Indonesia tidak memiliki pijakan yang kuat dalam menghadapi apa yang disebut Robert Reich sebagai gempuran “superkapitalisme”.

Superkapitalisme menggambarkan kecenderungan menguatnya kompetisi di dunia bisnis dalam memperebutkan konsumer dan investor yang merambah dunia politik. Persaingan bisnis mendorong dana dalam jumlah besar mengalir dari korporasi dan badan-badan keuangan untuk membiayai dan mengarahkan politik dan kebijakan publik guna kepentingan mereka.

Demokrasi yang dasar ontologisnya untuk menetralisasi kekuatan-kekuatan perseorangan, justru jatuh ke tampuk para pemodal. Semakin kapitalisme menguat, semakin ketidakadilan merebak, semakin demokrasi tergerus. Krisis demokrasi timbul manakala, “hasrat manusia sebagai investor dan konsumer dimenangkan karena nilai-nilai publik kewargaan tidak memiliki sarana ekspresi yang efektif.”

Dibanding negara-negara dengan tradisi good governance dan social accountability yang baik, krisis demokrasi Indonesia bisa lebih parah. Dalam praktik demokrasi patrimonial dengan pertanggungjawaban publik yang buruk, para politisi Indonesia lebih mudah menghamba pada daulat modal ketimbang daulat rakyat. Demokrasi berkembang menjadi sejenis pesta berjamaah untuk membunuh politik.

sumber : Resonansi
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement