Ahad 24 Mar 2013 06:00 WIB

Sedekah Senyum

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Asma Nadia

Dari begitu banyak orang di sekeliling, saya memilihnya untuk tempat bertanya. Sebelumnya seorang sahabat sempat mengeluh tentang betapa sombong dan tidak ramahnya orang-orang Paris. Khususnya generasi muda. "I love Paris but hate Parisian," keluhnya. Padahal, sahabat tersebut asli Prancis.

Menemukan sendiri beberapa kali kenyataan serupa selama tiga hari di Paris, saya berusaha lebih hati-hati memilih orang, meski hanya sekadar menyapa untuk menanyakan stasiun metro terdekat.

Sosok di hadapan saya saat itu seorang Muslimah, berkerudung pula, terlepas dia orang Paris atau bukan, saya berharap ada ikatan Islam yang menalikan kami.

Kenyataannya ketika saya tersenyum lalu menyapa, si Muslimah tak bereaksi. Saya pikir laju kendaraan mungkin menenggelamkan suara saya. Pertanyaan tersebut saya ulangi, tak hanya sekali. Si Muslimah menatap saya sekilas, lalu memutar tubuh hingga membelakangi.

Saya terpana. Bukan hanya jawaban, seulas senyum pun tidak saya dapatkan. Padahal, saya yakin jilbab yang dikenakannya bukan seperti yang biasa dikenakan beberapa penganut non-Muslim.

Masih dalam upaya menghidupkan prasang kabaik, kejadian itu membuat saya berpikir, betapa berharganya sebuah senyum, sebab ia bisa amat sangat mahal. Bagi traveler yang terasing, seperti saya saat itu, senyum bagaikan oase di padang pasir yang memberi kesejukan. Apalagi saat tubuh lelah setelah seharian mencangklong ransel yang cukup berat.

Betapa benar Rasulullah SAW saat mengatakan, "Senyum kalian bagi saudaranya adalah sedekah." (HR Tirmizi dan Abu Dzar). Dengan senyum, pintu-pintu keramahan dibuka. Senyum mencairkan kekakuan. Juga menjadi jembatan bagi ter bukanya sebuah perdamaian setelah se belumnya disulut permusuhan.

Berpegang pada hadis itu, tak ada alasan Muslim dan Muslimah tak bisa bersedekah.

Bahkan, jika kita tak memiliki materi apa pun untuk diberi, seulas senyum masih bisa dihantarkan sebagai sedekah. Dan jangan anggap ringan sedekah senyum, terutama di masyarakat yang cenderung individualistis dan terbata-bata dalam mengembangkan sikap toleran.

Benar, Indonesia terkenal dengan kultur ramah dan penuh senyum, semoga seterusnya keramahan dan senyuman tadi bisa mengubur image kekerasan yang sempat melekat.

Sedekah senyum, lebih baik dari hanya memendam iri, sekalipun dibolehkan. Iri, karena ilmu seseorang yang diamalkan. Lalu iri terhadap seseorang yang Allah berikan kekayaan.

Bukan iri terhadap apa yang dimilikinya, dan tidak kita punyai, melainkan karena dengan harta benda tersebut seseorang bisa menjelma sosok seperti Abu Bakar RA.

Ketika yang lain berlomba mencari kekayaan, panik jika belum memiliki gadget terbaru, rumah, dan kendaraan mewah, lalu menempuh berbagai cara untuk bisa memenuhi keinginan- keinginan dunia, sosok seperti Abu Bakar RA adalah penyejuk. Tapi lagi, mengapa hanya iri jika kita masih bisa bersedekah?

Saat membicarakan semangat sedekah ini, beberapa penulis yang baru memulai, tampak bersedih. Menurut mereka, bagaimana bisa bersedekah jika sehari-hari pemasukan dari menulis belum bisa diandalkan?

No Excuse!Sedekah dengan apa yang kita punya. Senyum pastinya dan ... "Sekalipun hanya tulisan?" tanya si teman lagi tak percaya. Saya mengangguk. Meski hanya dengan sebuah tulisan.

Teman-teman di komunitas menulis Forum Lingkar Pena memiliki tradisi antologi cinta. Ketika sekumpulan penulis menyumbang sebuah cerita untuk dibukukan bersama.

Sementara honor atau royalti didonasikan untuk mereka yang membutuhkan. Menolong seorang ayah yang istrinya meninggal saat melahirkan, sementara bayinya tertahan di rumah sakit karena tersandung pembayaran. Sedikit meringankan sahabat penulis yang sakit parah. Atau, memberikan tanda cinta sastrawan senior yang kehidupannya jauh dari layak.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement