Senin 02 Jun 2025 08:59 WIB

Gaza: Hayya 3, Kisah Perjuangan Palestina dari Balik Lensa Bioskop Indonesia

Film Gaza: Hayya 3 bagian trilogi yang mengangkat isu kemanusiaan di Palestina.

Rep: Lintar Satria/ Red: Qommarria Rostanti
Sutradara film Gaza Hayya 3 Jastis Arimba(kanan)  bersama Eksekutif Produser Ustadz Erick Yusuf (tengah) dan pemain Andy Boim (kiri) saat berkunjung ke Republika, Jakarta, Jumat (30/5/2025). Kunjungan tersebut membahas tentang sinopsis film Gaza Hayya 3 yang dibintangi oleh sejumlah aktris papan atas seperti Cut Syifa, Andy Boim hingga Oki Setiana Dewi yang akan segera tayang pada 12 Juni 2025 mendatang. Selain itu, sebanyak 40 persen dari royalti film tersebut akan disumbangkan untuk rakyat Palestina.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Sutradara film Gaza Hayya 3 Jastis Arimba(kanan) bersama Eksekutif Produser Ustadz Erick Yusuf (tengah) dan pemain Andy Boim (kiri) saat berkunjung ke Republika, Jakarta, Jumat (30/5/2025). Kunjungan tersebut membahas tentang sinopsis film Gaza Hayya 3 yang dibintangi oleh sejumlah aktris papan atas seperti Cut Syifa, Andy Boim hingga Oki Setiana Dewi yang akan segera tayang pada 12 Juni 2025 mendatang. Selain itu, sebanyak 40 persen dari royalti film tersebut akan disumbangkan untuk rakyat Palestina.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah eskalasi kekerasan yang tak berkesudahan di Jalur Gaza dan Tepi Barat, sebuah karya sinematik hadir dari Indonesia untuk menyuarakan perjuangan Palestina. Film Gaza: Hayya 3 adalah bagian dari trilogi yang secara konsisten mengangkat isu kemanusiaan dan pendudukan di Palestina, kali ini dengan fokus yang lebih mendalam pada mengapa dunia harus membela rakyatnya.

Film ini menjadi relevan mengingat situasi di Gaza, di mana menurut Klaster Kesehatan Daerah Pendudukan Palestina, hingga 30 Mei 2025, serangan Israel telah menewaskan lebih dari 54 ribu orang dan melukai lebih dari 124 ribu lainnya. Produksi film ini diprakarsai oleh eksekutif produser Ustadz Erick Yusuf, sutradara Jastis Arimba, dan aktor Andy Boim, yang semuanya memiliki visi kuat untuk menyuarakan solidaritas terhadap Palestina melalui medium film. Film ini merupakan kelanjutan dari dua film sebelumnya, Hayya (2018) dan Hayya 2 (2021).

Baca Juga

Menurut Ustadz Erick Yusuf, Gaza: Hayya 3 sengaja dibuat untuk memberikan pemahaman yang lebih tegas tentang mengapa pembelaan terhadap Palestina adalah sebuah keharusan. "Kami konsisten membuat film-film tentang Palestina. Yang pertama dan kedua membangun kesadaran, apa sih itu Palestina, karena kami produksi sebelum 7 Oktober (2023) lalu, sedangkan yang ketiga ini lebih tegas menyuarakan mengapa kita harus membela mereka," ujar Erick saat berkunjung ke kantor Republika pada Jumat (30/5/2025).

Film pertama, Hayya, berkisah tentang bantuan kemanusiaan Indonesia untuk Palestina, termasuk cerita seorang anak Palestina yang melarikan diri dari penindasan dan tiba di Indonesia. Sementara itu, Hayya 2, yang diproduksi saat pandemi, mengangkat tema kehilangan melalui pertemuan pasangan yang berduka dengan karakter dari film pertama.

Gaza: Hayya 3 hadir di tengah momen yang sangat krusial, terutama pascaserangan Israel ke Gaza setelah 7 Oktober 2023. Film ini diharapkan dapat menjawab berbagai pertanyaan fundamental yang muncul di masyarakat.

"Film ini menjawab pertanyaan mengapa kita harus membela Palestina, mengapa boikot produk pendukung Zionis penting, dan bagaimana sejarah panjang pendudukan Palestina," ujar Erick.

Ia juga menambahkan bahwa film ini menyisipkan fakta sejarah untuk memberikan pemahaman utuh tentang konflik yang terjadi. "Banyak yang belum paham mengapa dunia bergerak untuk Palestina. Film ini akan menjawabnya," kata Erick.

Sang sutradara, Jastis Arimba, mengungkapkan bahwa Gaza: Hayya 3 adalah karya yang sangat personal baginya. "Ini karya yang sangat personal. Sejak kuliah, isu Palestina sudah dekat dengan saya, dan lingkungan saya pun punya kepedulian yang sama," ujarnya.

Tantangan utama bagi Jastis adalah bagaimana menyajikan pesan serius tentang Palestina dalam format hiburan yang bisa mengedukasi sekaligus mengajak penonton berefleksi. "Film itu produk hiburan, tapi juga mengedukasi. Kami ingin penonton bisa merefleksikan diri: Bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap Palestina?," kata dia.

Untuk mendekatkan isu Palestina kepada penonton, Jastis dan tim kreatif, termasuk penulis Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia, memilih pendekatan drama keluarga. Film ini memperkenalkan karakter Abdullah Gaza, seorang anak yatim piatu yang ayahnya seorang relawan kemanusiaan meninggal saat bertugas di Palestina. "Nama Abdullah Gaza sengaja dipilih sebagai simbol ketangguhan. Dia tinggal di panti asuhan yang dikelola Ustadz Yusuf (diperankan Erick Yusuf) dan Oki Setiawati, di mana ia bertemu Hayya, anak Palestina yang terjebak di Indonesia setelah peristiwa 7 Oktober.

Salah satu elemen yang menarik dan kuat dalam film ini adalah kehadiran Benileta Neyahu, karakter antagonis yang secara sengaja dirancang sebagai personifikasi Zionisme dalam kehidupan sehari-hari. "Kami ingin penonton bertanya: Jangan-jangan sifat Zionis—seperti sombong, suka menindas yang lemah—ada dalam diri kita?. Karakter ini sengaja dibuat sangat dibenci, dan respons penonton sejauh ini sangat kuat," ujar Jastis.

Selain itu, film ini juga mengangkat tema parenting melalui perbandingan dua keluarga yang sama-sama tidak dikaruniai anak, namun memiliki respons yang kontras. Ada pasangan Dewi dan Sulaiman (diperankan Mario Irwinsyah) yang memilih mendirikan panti asuhan, dan pasangan lain yang justru terjerumus melakukan kejahatan. "Kami ingin menggambarkan masalah penindasan dan kekerasan bisa terjadi di mana saja, bahkan dalam lingkup keluarga," kata Jastis.

Aktor Andy Boim, yang dikenal dengan peran komedinya, kali ini tampil serius sebagai Boim, seorang wartawan yang gigih memperjuangkan Palestina. "Ini proyek yang sangat sentimental. Biasanya saya suka bercanda, tapi di film ini, saya langsung auto serius setiap kali ingat saudara-saudara kita di Gaza yang bahkan makan pun tak memikirkan rasa, hanya ingin bertahan hidup, saya langsung terbawa emosi," kata Boim.

Menurut Boim, kekuatan utama Gaza: Hayya 3 terletak pada kemampuannya menyampaikan pesan berat dengan cara yang mudah dicerna dan tidak membosankan. "Penonton tidak akan bosan karena ceritanya menarik. Tapi tanpa disadari, mereka akan terhanyut dalam refleksi: Kenapa saya benci karakter ini? Oh, ternyata karena dia mewakili sifat-sifat yang selama ini kita tentang di dunia nyata," ujarnya.

Boim menyebut film ini sebagai paket lengkap yang menghadirkan tema keluarga, sosial, dan spiritual. "Film ini luar biasa. Bahkan saya sendiri heran bisa nggak ngejokes sama sekali saat syuting. Emosi saya benar-benar tertuju pada pesan yang ingin disampaikan," ujarnya.

Film Gaza: Hayya 3 dijadwalkan segera tayang di bioskop Indonesia. Erick Yusuf berharap film ini tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai media edukasi dan pendorong bagi lebih banyak orang untuk mendukung kemerdekaan Palestina. "Kami ingin penonton tidak hanya menangis atau terharu, tapi juga tergerak untuk berkontribusi, baik melalui donasi, kampanye, atau tekanan politik," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement