Ahad 28 Apr 2013 06:00 WIB
Resonansi

Hotel Prodeo Berkelas VVIP

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Asma Nadia

"Saya mau pamit, Bu. Mohon maaf kalau ada salah selama ini." Saya memandang heran Pak Syarif, tukang reparasi payung keliling langganan kami. Ketika saya tanyakan akan ke mana, lelaki itu tersenyum.

"Insya Allah, besok mau masuk penjara, Bu. Mohon doanya." Saya tercengang. Sulit memercayai pribadi seperti Pak Syarif mampu terlibat kasus yang berujung ke penjara.

Meski pertemuan kami sekilas- sekilas, lelaki itu sosok sederhana yang baik, tak sungkan meminta waktu untuk shalat begitu azan tiba. Apalagi, sejak anak pertama yang menjadi buruh migran menghilang. Lalu, anak kedua, yang menjadi harapan karena nilai-nilainya yang selalu bagus, beberapa tahun lalu bunuh diri karena tak lulus ujian nasional (UN). Entah dengan cara bagaimana lelaki itu bisa melanjutkan hidup. "Memangnya Pak Syarif salah apa?"

Lelaki itu merapikan kopiah lusuh yang menutupi sebagian rambutnya yang telah berubah warna. "Saya belum tahu, Bu. Tapi, besok sa ya berniat melakukan kejahatan. Semoga Allah mengampuni yang sekali ini." Astaga. Obrolan kami terhenti. Tangan lelaki itu cekatan memperbaiki payung rusak yang belum lama saya sodorkan.

Kejahatan belum dilakukan, tetapi Pak Syarif sudah bertekad mendekam di sel. Mengapa? Apa yang membuatnya sampai kehilangan kewarasan begitu?

Sambil terus bekerja, dengan suara pelan dan wajah prihatin, ia menjelaskan deret utang yang harus ditanggung. Mulai biaya kontrakan, pinjaman ke rentenir yang seakan tak berujung lunasnya, lalu istrinya yang sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia. Bahkan, biaya penguburan anak bungsunya pun belum mampu dilunasi. "Rumah sepetak sudah saya jual untuk melunasi utang. Saya ingin menikmati hari tua dengan tenang di penjara, Bu." Hidup tenang? Tidak tahu kah lelaki itu, rumah sakit dan penjara adalah--meminjam dramanya Arifin C Noer--`sumur tanpa dasar' bagi orang- orang tak punya?

Sementara, saya masih mencerna, Pak Syarif bercerita dengan mata berbinar tentang rencana masa depannya. Masuk penjara agar tak pusing memikirkan kontrakan dan makan tiga kali sehari. Juga tak pusing memikirkan persoalan yang jelas-jelas tak bisa ditanggungnya. "Lagian, penjara sekarang berbeda, Bu."

Sederet bantahan siap meluncur dari bibir saya. Siapa pun tahu hidup di dalam bui tidak enak. Bagaimana bisa tidur pulas jika harus berimpit-impitan dengan banyak orang. Belum ancaman diperas, dihajar, bahkan menjadi korban pelecehan seks.  Akan tetapi, belum sempat saya berkata-kata, dengan pandangan penuh harapan Pak Syarif melanjutkan, "Penjara sekarang dalamnya mewah, Bu. Katanya yang tua-tua bisa momong cucu, bahkan disediakan perabot untuk itu. Ada sofa untuk menerima tamu. Kamarnya kayak hotel."

Sepasang mata lelaki itu seakan mengembara, meninggalkan saya yang makin terpuruk dalam ketidakmengertian. "Tempat tidurnya empuk. Ada AC, kulkas, TV layar lebar, bahkan bisa karaoke segala katanya, meski saya tak perlu itu."

Sampai di situ Pak Syarif tersenyum, "Insya Allah di sana ibadah saya makin tenang. Apalagi, saya sudah tua. Di penjara kalau sakit, bisa dirawat di rumah sakit, nggak perlu mikir bayaran. Malah, katanya ada yang sampai berobat ke luar negeri dan masih sempat jalan-jalan."

Tiba-tiba bayangan berita di koran be berapa waktu lalu menampar saya. Ulasan tentang salah seorang koruptor nomor wahid yang dirawat di rumah sakit dengan fasilitas luar biasa. Sakit dan berobat kabarnya menjadi obat mujarab buat para koruptor Tanah Air untuk rehat. Terdakwa satu kasus korupsi pajak malah sempat liburan bersama keluarga hingga ke luar negeri. Lainnya yang sempat menjadi sorotan adalah fasilitas ala kos mewah, tahanan kasus suap jaksa, yang memiliki kamar pribadi ber-AC, dengan kamar mandi sendiri, juga alat- alat fitnes. Sungguh mengusik keadilan.

Wajar jika perkara korupsi terus mendera Indonesia. Bagaimana koruptor jera jika hukuman terbilang pendek, di tahan pun dengan fasilitas mewah, masih dipotong remisi yang memungkinkan mereka hanya dalam dua-tiga tahun kembali bebas, lalu dengan tenang menikmati kekayaan yang tak habis dimakan tujuh turunan.

Allah. Memandang wajah dengan guratan usia di hadapan saya, tak tega rasanya menyampaikan. Namun, lelaki saleh ini tak boleh dibiarkan masuk `hotel prodeo' yang jelas-jelas diperuntukkan bagi para pelaku kriminal. Saya masih menatap wajahnya, saat mulai meluruskan. Betapa penjara bagi rakyat jelata, bukanlah surga, melainkan neraka.

Berangsur, sepasang mata tua yang awalnya berbinar, diliputi kabut, sebelum kemudian berkaca-kaca.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement