REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha
Kabar kegagalan Indonesia menjadikan Mari Elka Pangestu sebagai dirjen Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) berlalu begitu saja. Tak ada cukup penjelasan. Juga tak cukup menarik minat para analis dan para pakar untuk menulis soal ini. Seolah itu peristiwa tanpa makna. Padahal momentum seperti ini tak bisa datang setiap saat. Mantan menteri perdagangan itu sangat memenuhi syarat untuk menjadi dirjen WTO. Dia pandai, paham benar tentang perdagangan dunia, namanya cukup dikenal di dunia, dan rekam jejaknya yang propasar sangat sesuai untuk jabatan tersebut. Namun ternyata ia terpental di putaran kedua.
Karena itu, dalam breakfast meeting terbatas di Kementerian Luar Negeri, soal ini menjadi salah satu topik bahasan yang dipertanyakan. Temanya coba diperluas dalam konteks diplomasi ekonomi. Skala ekonomi Indonesia yang makin besar membuat negeri ini harus makin lincah di fora internasional. Indonesia kini masuk anggota G-20 dengan PDB urutan nomor 16 di dunia. Pertumbuhan kelas menengahnya sangat pesat. Indonesia sedang menjadi putri yang molek yang menjadi incaran negara-negara lain. Jika posisi politik Indonesia di peta internasional tak cukup kuat, maka kemolekan itu hanya akan dijadikan budak nafsu pihak lain. Indonesia hanya akan menjadi pemasok bahan mentah, produsen tenaga kerja murah, dan pasar barang-barang impor. Itulah yang sedang terjadi saat ini.
Posisi Indonesia saat ini sangat identik dengan kondisi di masa kejayaan VOC di zaman kolonial Belanda. Persekutuan dagang itu menjadi yang terbesar kedua di dunia setelah EIC milik Inggris. Dan Belanda hanya mengandalkan tiga hal: pemasok bahan mentah, tenaga kerja murah, dan pasar barang-barang impor. Kenyataan ini tak harus menepuk kita saat ini untuk bangga. VOC sudah lebih dulu menapakinya, lebih seabad yang lalu. Hasilnya: hanya memperkaya kelas atas (bangsa Eropa di Nusantara) dan kelas menengah Asia Timur (Cina dan Arab). Saat ini, kelas atas dan kelas menengahnya tentu sudah ada perubahan. Namun komposisi mayoritas penduduknya tetaplah orang-orang miskin.
Dalam breakfast meeting itu, Menlu Marty Natalegawa meminta seorang dirjen dari Kementerian Keuangan untuk menjelaskannya. Dia menjawab: 1. Calon dari Indonesia tak mendapat dukungan dari negara-negara Eropa. 2. Kegagalan itu keniscayaan karena saat ini Indonesia sedang menerapkan kebijakan yang proteksionis. 3. Posisi dirjen WTO untuk kali ini sudah menjadi jatah dari negara Amerika Latin. 4. Yang akan menang adalah calon dari Meksiko karena negeri ini sedang menerapkan kebijakan propasar. Sedangkan calon dari Brasil akan gagal karena negeri ini sama dengan Indonesia yang cenderung proteksionis.
Penjelasan itu sama sekali tak mengurai apa yang sudah dilakukan Indonesia dalam memperjuangkan Mari Elka Pangestu. Pada sisi lain, ternyata di kemudian hari, yang menang adalah calon dari Brasil (Roberto Carvalho de Azevedo), calon yang didukung negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Ia mengalahkan calon dari Meksiko (Herminio Blanco), yang didukung Uni Eropa dan Amerika Serikat. Penjelasan itu juga lebih banyak menyalahkan diri sendiri serta memperlihatkan sikap inferior dan tak percaya diri. Tentu itu sangat mengecewakan. Ia sama sekali tak melihat kekuatan Indonesia. Atau memang ia meyakini bahwa Indonesia memang tak memiliki kekuatan di peta internasional? Mari kita lihat satu fakta lagi.
Sejumlah negara yang sedang menggeliat ekonominya, bahkan mereka menjadi penghela laju ekonomi dunia, bersatu dalam kelompok ekonomi BRIC (Brasil, Rusia, India, dan Cina). Merasa satu aspirasi, Indonesia berjuang untuk masuk. Namun ternyata yang diterima menjadi anggota baru adalah Afrika Selatan, sehingga menjadi BRICS. Kini, tak ada lagi suara dari Indonesia untuk bergabung ke kelompok ini. Persekutuan ini sangat penting untuk meningkatkan kemajuan dan kemakmuran Indonesia. Negeri-negeri tersebut sedang bersekutu untuk mengimbangi dominasi negara-negara Barat dan negara-negara satelitnya seperti Jepang dan Korea Selatan. Karena pada hakikatnya tak ada negeri yang mau berbagi teknologi dan kemajuan. Kita harus berjuang untuk merebutnya dan memaksanya untuk berbagi.
Forum-forum ekonomi internasional seperti APEC, G-20, WTO, Bank Dunia, IMF, dan sebagainya merupakan ajang memperjuangkan kepentingan tiap negara. Semua dibentuk agar negerinya memiliki akses terhadap bahan mentah dan tenaga kerja serta kemudahan pergerakan uang, barang, dan jasa. Ujungnya adalah yang kuat yang menang, yang cerdik yang untung, yang bertarung yang kebagian. Kita butuh kekuatan, kecerdikan, dan daya juang bagi kemajuan dan kemakmuran Indonesia. Kita tak butuh manusia-manusia lembek.
Kita harus mencontoh jiwa juang Azevedo. Kita juga harus memiliki sikap seperti Brasil, yang tak inferior memperjuangkan kepentingan nasionalnya. Azevedo memimpin delegasi Brasil saat bertarung melawan AS soal subsidi kapas dan melawan Uni Eropa soal subsidi gula. Kita berharap kemenangan Azevedo ini bisa menyeimbangkan WTO agar tak lagi disetir negara-negara maju dan korporasi-korporasi multinasional.
Untuk menjadi bangsa besar butuh manusia-manusia besar. Bukan manusia pengekor. Dalam soal sikap, saat ini Indonesia tak dihitung negara maju dan juga tak dianggap negara yang sedang bangkit. Kita harus memiliki sikap. Pertarungan sudah di depan mata. Impor pangan kita kini melonjak drastis. Upaya kita melindungi buah lokal langsung dilawan Amerika Serikat di WTO.
Saatnya kita memiliki pemimpin yang memiliki haluan yang jelas. Seperti Lula da Silva mengubah Brasil, seperti Putin mengembalikan kembali jalan Rusia.