Jumat 07 Jun 2013 06:47 WIB
Resonansi

Kita Bisa Mufaraqah dari Politik Memaki

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha

Jangan memaki, karena itu menyakiti. Ia meluka seperti gelas yang pecah, seperti kertas yang robek. Menyambung yang rusak itu berbekas. Saatnya kembali ke adab.

Suatu kali ada pertemuan terbatas. Pertemuan dipimpin seorang tokoh legendaris gerakan mahasiswa dari universitas ternama. Mereka membahas upaya mendelegitimasi seorang presiden. Ini yang menarik. Pertemuan tak membahas strategi gerakan politik, penggalangan massa, dan upaya hukum lain. Tapi membangun stempel persepsi. Mereka merumuskan frasa dan diksi stigmatik. Dalam hati membatin, politik memang kejam. Tak perlu ada rumusan akademik, kebenaran, atau apapun. Cukup meruntuhkan kredibilitasnya dan melekatkan stempel. Alatnya cuma satu: agitasi dan propaganda. Dari situ kita bisa memahami kebenaran kata-kata Hitler. Suatu kebohongan jika digemakan berulang akan menjadi kebenaran.

Jika kita menengok ke belakang, kita akan mendapati stigma-stigma buruk yang melekat pada para pemimpin kita. Semua itu ada pabriknya. Ada produsennya. Umumnya dipopulerkan secara anonim. Tak ada pihak yang mengemukakannya. Muncul lewat poster saat demonstrasi atau sosial media. Tiba-tiba persepsi itu terbentuk. Namun kata-kata makian sering muncul melalui tokoh-tokoh antagonis. Setiap rezim selalu memiliki figur yang menjadi bad guys. Kita mengenal sejumlah nama yang memainkan peran itu. Orang-orang itu secara formal dikatakan tak mewakili rezim, namun sejatinya ia justru alat yang dibunyikan di saat tepat. Ia juga selalu berada dalam pusaran kekuasaan.

Di awal reformasi, politik Indonesia demikian gaduh. Produksi stigma demikian massif, politik caci maki menjadi gejala umum. Seolah itu menjadi ciri bangsa Indonesia. Pertemuan terbatas yang saya maksudkan memang dilakukan di awal reformasi. Kini, politik caci maki mulai berkurang. Namun tetap ada. Sejumlah figur antagonis bahkan menjadi andalan dalam daftar caleg dari partai yang menamakan dirinya partai santun. Hal serupa juga mewarnai partai-partai lain. Realitas ini juga mengemuka di akar rumput maupun di pergerakan oposisi.

Namun jangan dikira orang-orang waras diam saja. Seorang politisi senior yang sangat berkuasa di partainya diam-diam melakukan imbauan pada kader-kadernya untuk menjauhkan diri dari politik caci maki. Bahkan tak sekadar itu. Ia pun tak begitu suka pada kadernya yang melakukan perlawanan hukum berlebihan, apalagi melakukan penggalangan opini, jika dirinya kalah dalam pilkada. Kenegarawanannya memang makin mengental di usia senjanya. Ia mencoba membangun politik sehat dan politik tawakal alias legowo. Ia melihat tanda-tanda zaman. Ia membaca bahwa mayoritas bangsa ini sebetulnya waras. Namun kewarasan publik itu akan maujud jika lembaga-lembaga, tokoh-tokoh, dan kapital menuju titik yang sama.

Pilkada di Sumatra Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah menunjukkan kemenangan politik sehat. Para gubernur terpilih itu dikenal sebagai figur-figur yang baik. Mereka berpadu dengan mesin partai yang efektif bekerja dan topangan dana yang cukup. Maka kekuatan mayoritas masyarakat yang sehat mendapat resonansinya. Kita berharap arus sejarah ini menjadi ciri pada pemilu 2014 nanti – pemilu legislatif maupun pemilihan presiden. Untuk kandidat presiden, hingga kini kita belum mendapat gambaran yang jelas. Masih begitu banyak kemungkinan. Namun untuk calon-calon anggota legislatif, kita sudah bisa menilai siapa saja kandidat di tiap daerah pemilihan.

Sistem pemilihan kita masih menonjolkan kekuatan partai dan nomor urut. Walau menganut sistem proporsional terbuka, namun dalam praktiknya hanya segelintir orang saja yang bisa lolos ke parlemen karena suara yang diperoleh dirinya. Selebihnya mengandalkan nomor urut dan kekuatan partai. Artainya hanya kandidat yang berada di nomor urut satu, dua, bahkan tiga yang berpeluang untuk lolos ke parlemen. Apalagi jika dia berasal dari partai besar. Jika kita ingin konsisten mengembangkan politik sehat, maka jangan sekali-kali mencoblos partai tertentu jika kita mendapati caleg di dapil kita terdapat caleg yang kita kenal sebagai figur bobrok. Kita bisa mufaraqah, memisahkan diri, dari partai dan orang-orang semacam itu.

Kita harus makin tegas dan konsisten dalam membangun politik sehat. Kita harus mengeliminasi figur-figur tak bermutu maupun partai-partai rusak. Pada hakikatnya memilih partai adalah memilih orangnya. Kita harus memperhatikan visi, misi, akhlak, dan kemampuan orang-orangnya. Politik sehat adalah politik yang berakar pada tradisi kita. Tradisi santun dan ramah tamah.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement