REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudi Latif
Abad ke-21 disebut banyak ahli sebagai abad Asia. Poros kemajuan peradaban secara perlahan bergeser dari Trans-Atlantik menuju Trans-Pacific, ditandai oleh kemunculan sentra-sentra pertumbuhan ekonomi baru di Asia.
Di dalam dinamika perkembangan Asia tersebut, Indonesia sebagai negara terbesar ketiga dari segi jumlah penduduk di kawasan mestinya memainkan peran yang menentukan.
Namun, kebesaran penduduk dan keluasan wilayah negara pada kenyataannya tidak selalu sepadan dengan kebesaran harkat bangsanya. Bung Karno berulang kali mengingatkan hal ini, dengan meminjam pertanyaan retoris dari sejarawan H.G. Wells. “Apa yang menentukan besar-kecilnya suatu bangsa?” Lantas ia simpulkan sendiri, bahwa, “Anasir terpenting yang menentukan nasib suatu bangsa adalah kualitas dan kuantitas tekadnya.” Tekad sebagai sikap mental (state of mind) yang mencerminkan kuat-lemahnya jiwa bangsa.
Dalam peringatan Isra Mi’raj 7 Februari 1959, Soekarno menandaskan. ”Tidak ada suatu bangsa dapat berhebat, jikalau batinnya tidak terbuat dari nur iman yang sekuat-kuatnya. Jikalau kita bangsa Indonesia ingin kekal, kuat, nomor satu jiwa kita harus selalu jiwa yang ingin Mi’raj—kenaikan ke atas, supaya kebudayaan kita naik ke atas, supaya negara kita naik ke atas. Bangsa yang tidak mempunyai adreng, adreng untuk naik ke atas, bangsa yang demikian itu, dengan sendirinya akan gugur pelan-pelan dari muka bumi (sirna ilang kertaning bumi).”
Maka dari itu, Bung Karno berkali-kali menekankan perlunya membesarkan jiwa. ”Tiap-tiap bangsa mempunyai orang-orang besar, tiap-tiap periode dalam sejarah mempunyai orang-orang yang besar, tetapi lebih besar daripada Mahatma Gandhi adalah jiwa Mahatma Gandhi, lebih besar dari Stalin adalah jiwa Stalin; lebih besar daripada Roosevelet adalah jiwa Roosevelt;... lebih besar daripada tiap-tiap orang besar adalah jiwa daripada orang besar itu. Jiwa yang besar yang tidak tampak itu adalah di dalam dadanya tiap-tiap manusia, bahkan kita mempunyai jiwa sebagai bangsa. Maka kita sebagai manusia mempunyai kewajiban untuk membesarkan kita punya jiwa sendiri dan membesarkan jiwa bangsa yang kita menjadi
anggota daripadanya.”
Dalam hal ini, Mohammad Hatta bergundah mengenai masa depan kemerdekaan Indonesia yang mungkin dilumpuhkan oleh kekerdilan jiwa bangsanya sendiri. Dengan mengutip puisi Schiller, ia pun bernubuat: ”Sebuah abad besar telah lahir/tetapi ia menemukan generasi yang kerdil.”
Dalam pandangan Bung Hatta, sebuah bangsa tidaklah eksis dengan sendirinya, melainkan tumbuh atas landasan suatu keyakinan dan sikap batin yang perlu dibina dan dipupuk sepanjang masa. Terlebih kebangsaan Indonesia, sebagai konstruksi politik yang meleburkan aneka (suku) bangsa ke dalam suatu unit kebangsaan baru, ”untuk mempertahankannya tiap orang harus berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”
Harapan dan peringatan kedua Bapak bangsa di atas patut direnungkan menjelang Pemilihan Umum keempat di era reformasi. Telah berlalu masa yang panjang ketika karunia kekayaan dan keindahan negeri ini tak sebanding dengan martabat bangsanya: kekayaan alam tak membawa kemakmuran, kelimpahan penduduk tak memperkuat daya saing, kemajemukan kebangsaan tak memperkuat ketahanan budaya, keberagamaan tak mendorong keinsyafan berbudi.
Berdiri di awal milenium baru, menyaksikan gerak perubahan yang luas cakupannya, instan kecepatannya dan dalam penetrasinya, menyentuh rasa hirau kita tentang masa depan bangsa: adakah kelebihan yang bisa kita banggakan pada dunia selain karunia yang terberikan; adakah sebutan yang bisa kita ukir di gelanggang internasional selain gelar-gelar buruk?
Dalam rasa keadilan Ilahi, tak ada ketentuan bahwa jalan hidup suatu bangsa harus tetap berada di pinggiran. Dari hari ke hari, firman Tuhan justru semakin membuktikan kebenaran dirinya. Bahwa di dalam sejarah kejatuhan dan kejayaan suatu kaum, manusia sendirilah pusat pengubahnya.
Kita perlu “senjata” baru, cara pengucapan baru, dan kharisma pengubah sejarah yang baru. Ilmu dan teknologi, semangat inovasi serta daya etos dan etis yang mewujud ke dalam kualitas manusia unggul adalah senjata, bahasa, dan kharisma baru kita untuk memenangkan masa depan.
Mestinya kita bisa. Kita mewarisi kebesaran jiwa para pendiri bangsa, yang menorehkan nama Indonesia sebagai pelopor gerakan kemerdekaan di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Dengan kebesaran jiwa dan pengikatan bersama seluruh kekuatan nasional, kita pun masih memiliki sumberdaya yang cukup untuk bangkit dari keterpurukan.
Untuk itu, bangsa kita harus keluar dari kekerdilan mentalitas budak, yang gampang pecundang, dangkal dan rentan. Seperti kata Bung Karno dalam Amanat Proklamasi 1956: ”Bangsa Indonesia harus mempunyai isi-hidup dan arah-hidup. Kita harus mempunyai levensinhoud dan levensrichting. Bangsa yang tidak mempunyai isi-hidup dan arah-hidup adalah bangsa yang hidupnya tidak dalam, bangsa yang dangkal, bangsa yang cetek, bangsa yang yang tidak mempunyai levensdiepte samasekali. Ia adalah bangsa penggemar emas-sepuhan, dan bukan emasnya batin. Ia mengagumkan kekuasaan pentung, bukan kekuasaan moril. Ia cinta kepada gebyarnya lahir, bukan kepada nurnya kebenaran dan keadilan. Ia kadang-kadang kuat,--tetapi kuatnya adalah kuatnya kulit, padahal ia kosong-mlompong di bagian dalamnya.”