REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Ternyata kesamaan bahasa dan agama belum cukup menjadi faktor pemersatu dunia Arab. Juga kesamaan budaya dan etnis. Tidak percaya? Tengoklah ke negara-negara Arab sekarang. Tepatnya, lihatlah ke 22 negara yang tergabung dalam Liga Arab.
Arab merupakan bahasa resmi mereka. Kalau ada perbedaan, hanya terletak pada logat atau pengucapan dalam percakapan sehari-hari. Misalnya di Mesir J (Jim) dibaca G. 'Jamal', misalnya, diucapkan 'Gamal'. Di Saudi, Q (Qof) diucapkan sebagi G (Ghoin) dan di Mesir dilafalkan sebagai A atau I atau U (Alif). Begitu seterusnya di negara-negara Arab lainnya. Logat atau pengucapan sehari-hari ini disebut sebagai lughat 'aamiyah alias bahasa percakapan rakyat. Meski berbeda pengucapan, tapi semua masyarakat Arab di satu negara sangat paham dengan logat negara lain.
Hanya saja, ketika menyangkut bahasa resmi, semua masyarakat Arab akan merujuk ke bahasa fusha seperti halnya yang ada di Alquran dan Hadis Nabi, baik gramatika maupun pengucapannya. Bahasa resmi yang dimaksud adalah yang biasa digunakan dalam surat-menyurat, pidato kenegaraan, dan pada acara-acara resmi lainnya.
Hal serupa juga terjadi pada agama. Sebagian besar masyarakat Arab di 22 negara memeluk agama Islam. Bahkan sejumlah negara jelas-jelas mencantumkan Islam sebagai agama resmi. Lalu siapa yang disebut bangsa Arab? Orang kita (Indonesia) sering kali menganggap orang Arab adalah Arab Saudi. Padahal, yang disebut bangsa Arab, selain Arab Saudi, adalah mereka yang tinggal di 22 negara yang terhampar di kawasan Timur Tengah hingga Afrika Utara. Dari negara-negara Teluk sampai Sudan, Tunisia, Aljazair, Maroko, Somalia, dan Djibouti. Jumlah mereka pada 2012 diperkirakan mencapai lebih dari 400 juta jiwa.
Dengan jumlah penduduk yang besar, ditambah dengan kesamaan agama, bahasa, dan budaya, mustinya dunia Arab bisa menjadi kekuatan dahsyat. Bahkan, menurut pengamat Timur Tengah dari Arab Saudi, Abdul Rahman Al Rasyid, Arab seharusnya mempunyai wakil tetap di Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Keanggotaan Arab sebagai anggota tetap di DK PBB menjadi penting, menurut Al Rasyid, karena jumlahnya yang sangat besar, baik penduduk, jumlah negara maupun persoalannya. Pada 1945 ketika PBB berdiri, hanya lima negara Arab yang menjadi anggota. Kini 22 negara Arab bergabung dengan PBB. Sesuai dengan perkembangan waktu dan kondisi dunia, DK seharusnya juga direformasi, terutama keanggotaan tetapnya yang mempunyai hak veto. ‘’Arab harus mempunyai wakil tetap di DK.’’
Apalagi, lanjut Al Rasyid, hampir separuh persoalan dan masalah yang dihadapi PBB dan organ-organnya selalu terkait dengan persoalan dunia Arab. Persoalan-persoalan ini akan selalu melibatkan sebagian besar lembaga-lembaga internasional. Dari Dewan Keamanan, Majelis Umum, lembaga pengungsi, mahkamah internasional untuk kejahatan perang dan hak asasi manusia. Juga FAO (Food and Agriculture Organization), Unesco (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization), dan WHO (World Health Organization). Persoalannya, masih mengutip Abdul Rahman Al Rasyid, negara Arab mana yang paling berhak menjadi anggota tetap DK PBB seandainya terjadi reformasi di tubuh lembaga internasional tersebut? Apakah negara itu Suriah ataukah Arab Saudi? Apakah Mesir atau Qatar? Apakah Aljazair ataupun Maroko? Apakah Yaman, Somalia, Sudan atau Djibouti? Negara-negara yang tesebut ini merupakan anggota Liga Arab.
Sungguh tidak gampang menentukan negara Arab mana yang paling berhak mewakili mereka di lembaga-lembaga internasional. Di tingkat internal Liga Arab saja, antar-anggota pun sering bertikai. Lihatlah apa yang terjadi pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Liga Arab di Kuwait beberapa pekan lalu. Mereka berdebat dan kemudian berselisih paham untuk menentukan kursi Suriah. Sebelumnya, ketika KTT diselenggarakan di Kairo, kursi Suriah diberikan kepada wakil dari kelompok oposisi.
Namun, pada pertemuan puncak mereka di Kuwait, kursi Suriah dibiarkan kosong. Padahal, salah satu fokus KTT adalah membicarakan masalah Suriah. Penyebabnya adalah terjadinya tarik menarik kepentingan antara kubu Arab Saudi dan kubu yang dimotori Aljazair. Contoh lainnya menyangkut persoalan Palestina. Dengan jumlah penduduk dunia Arab lebih dari 400 juta jiwa, kekayaan minyak dan gas yang melimpah, dan didukung persenjataan yang modern, semustinya mereka tidak susah mengalahkan negara Zionis Israel yang kecil dan dengan jumlah penduduk yang hanya sekitar 7 juta jiwa. Juga tidak sulit untuk merebut kembali Madinatul Quds (Tel Aviv versi Israel) yang di dalamnya Masjidil Aqsa yang merupakan kiblat pertama dan tempat suci ketiga umat Islam.
Tapi, apa yang terjadi? Semakin hari kondisi bangsa Palestina semakin terpuruk. Di pihak lain, Israel semakin berhasil menancapkan kekuasaannya di wilayah-wilayah Palestina yang dijajah. Kini terdapat puluhan ribu pemukiman Yahudi yang dibangun di wilayah Palestina. Bahkan mereka juga telah berhasil merusak bagian-bagian penting Masjidil Aqsa tanpa mendapatkan reaksi yang berarti dari dunia Arab.
Jadi, jangan berharap banyak dunia Arab bisa bersatu. Meminjam pendapat Abdul Rahman Al Rasyid, kursi tetap di DK PBB bagi negara Arab adalah mimpi. Bukan karena organ di PBB itu belum direformasi yang memungkinkan perubahan keanggotaan tetap, tapi lebih lantaran dunia Arab tidak bisa bersatu. Seandainya negara-negara Arab bersatu, tanpa keanggotaan tetap di DK pun posisi tawar mereka bisa lebih dahsyat. Perbedaan ideologi politik, syahwat kekuasaan, dan faktor ekonomi telah mengalahkan kesamaan agama, bahasa, budaya, dan kepentingan bersama dunia Arab.
Kesamaan negara-negara Arab, terutama bahasa, sejauh ini baru bisa mempersatukan mereka dalam satu hal: lagu-lagu Arab yang sedang populer dan tembang yang abadi. Sebagian besar anak-anak muda Arab bisa dipastikan mengenal nama-nama ini: Amr Diab, Mohammad Munir, Tamer Hosni, Mohammad Hamaki, Kadin Al Sahir, Nancy Ajram, Maryam Faris, Diana Haddad, Sofia Marikh, Nawal Al Zoghbi, dan Haifa Wahbi. Mereka adalah penyanyi-penyanyi yang lagi ngetop di dunia Arab yang suara dan wajahnya sering menghiasi radio maupun layar televisi.
Sedangkan generasi tua Arab tentu akrab dengan lagu-lagu dari Ummi Kultsum, Abdul Halim Hafidz, dan Farid Atraz. Lagu-lagu mereka adalah sangat klasik nan abadi, dan hingga sekarang masih sering diperdengarkan di radio maupun diputar di layar kaca.